FORUM KEADILAN – Anggota Komisi II Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI Indrajaya mengusulkan agar pelantikan kepala daerah dilaksanakan setelah selesainya semua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Indrajaya mengatakan, berdasarkan Perpres Nomor 80 Tahun 2024, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan serentak pada 7 Februari 2025 dan pelantikan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota pada 10 Februari 2025 di Ibu Kota Provinsi.
Menurutnya, Perpres Nomor 80 Tahun 2024 telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-XXII/2024 yang pada intinya memerintahkan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 dilaksanakan serentak.
Persoalannya, kata Indrajaya, dari 545 daerah yang mengikuti Pilkada tahun 2024, terdapat permohonan sengketa hasil di MK sejumlah 296 daerah. Sisanya 247 daerah tidak mengajukan gugatan.
“Dan ada dua daerah akan menjalani pemilihan ulang karena calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong,” katanya di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu, 22/1/2024.
Terkait dengan sidang sengketa hasil pilkada, jadwal pengucapan putusan sengketa Pilkada di MK baru akan digelar antara tanggal 7-11 Maret 2025. Artinya, bila jadwal pelantikan didasarkan pada Perpres Nomor 80 Tahun 2024, maka pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 menjadi tidak serentak.
Menurut Indrajaya, putusan MK bersifat final and binding, tapi terkait pelaksanaan pemilu dan pilkada masuk dalam kategori open legal policy, karena itu DPR sebagai pembuat UU dapat melakukan constitutional engenering dengan membuat aturan baru yang didasarkan pada jadwal sengketa MK yang baru berakhir antara 7-11 Maret 2025.
“Maka kami mengusulkan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 dilaksanakan secara serentak sampai pembacaan putusan akhir gugatan hasil pilkada di MK,” terangnya.
Mengenai pemilihan ulang akibat kekalahan calon tunggal dengan kotak kosong di Kota Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka Kepulauan Bangka Belitung yang akan dilaksanakan pada 27 Agustus 2025, maka pelantikannya tidak mungkin melandaskan pada Perpres Nomor 80 Tahun 2024.
Indrajaya menilai, kurang strategis jika mengikuti Putusan MK Nomor 46/PUU-XXII/2024 dengan melakukan pelantikan secara serentak dengan kepala daerah lain. Artinya, dua daerah ini lebih baik pelantikannya berbeda dengan daerah yang tanpa sengketa dan bersengketa di MK.
“Kejadian di dua daerah ini adalah anomali dalam Pilkada 2024. Karena itu, sebagai konsekuensi yang harus ditanggung,” ucapnya.
Menurutnya, untuk pilkada lima tahunan, dua daerah tersebut hendaknya menjadi perhatian khusus pada rencana revisi UU Pilkada. Opsi yang dapat diusulkan adalah menyerentakkan dua daerah ini pada Pilkada tahun 2029 meski jabatan kepala daerah belum genap lima tahun.
Indrajaya pun memberikan catatan terhadap pelaksanaan Pilkada 2024. Menurutnya, jadwal tahapan Pilkada 2024, mulai pengumuman hasil, sengketa di MK, dan agenda pelantikan yang tidak sesuai menunjukkan kelemahan dalam penyusunan UU dan peraturan terkait.
“Selain itu, kekalahan calon tunggal oleh kotak kosong juga tidak diantisipasi, padahal pengalaman ini pernah terjadi,” bebernya.
Dia menegaskan, perlu evaluasi menyeluruh terhadap semua regulasi terkait kepemiluan. Gagasan Omnibus Law paket UU Politik dapat menjadi pilihan, khususnya menyangkut UU Kepemiluan yang sering di-judicial review dan mengalami bongkar pasang (akrobatik hukum).
“Untuk ini, perlu kajian komprehensif dan uji publik yang lebih luas, serta melibatkan semua stakeholders pemilu,” pungkasnya.
Laporan Muhammad Reza