Ia mengatakan bahwa semua pihak menyambut cairnya demokrasi dengan penghapusan Presidential Threshold tersebut.
“Pasti, pasti (jadi potensi memajukan kader). Semua menyambut cairnya demokrasi. Tapi kita juga punya pengalaman, kalau terlampau banyak calon yang enggak realistis juga buang-buang,” kata Muhaimin di Istana kepresidenan Bogor, Jumat, 3/1/2025.
Diketahui, kini setiap Partai politik (parpol) dapat mengusung kadernya sendiri di Pilpres mendatang mengingat tidak adanya jumlah minimal kursi DPR dan suara sah nasional Partai sebagai syarat mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PMK) itu menyatakan putusan MK adalah putusan yang mengikat sehingga seluruh pihak harus tunduk.
“Pasti, pasti semua menyambut. Tapi kan putusan itu kan bersifat mengikat, final. Problemnya adalah ada satu bab di situ dari keputusan itu, mengembalikan kepada pembuat UU. Nanti ya tergantung fraksi-fraksi di DPR,” jelasnya.
Ia pun mengaku gembira dengan putusan MK. Namun, dirinya tidak ingin buru-buru memutuskan maju dalam Pilpres 2029 dan menyebut dengan threshold yang berlaku pada Pilpres 2024, ia tetap bisa maju menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Anies Baswedan.
“Kemarin juga bisa maju, kemarin juga maju. (Kalau soal) Nanti maju, enggak tahu, masih panjang. Trauma enggak itu? Trauma kalah. (Kalian) Belum ngerasain kalah, sih,” seloroh Imin.
MK Batalkan Presidential Threshold Pilpres 2029
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan ketentuan ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT) untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2029. Mahkamah berpendapat bahwa aturan ambang batas hanya menguntungkan partai-partai politik besar dan tidak didasarkan pada penghitungan yang rasional.
Hal itu diputuskan dalam sidang perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam petitumnya, mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo saat membaca amar putusan di Gedung MK, Kamis, 2/1/2025.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
Menurut MK, penetapan besaran atau persentase ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Apalagi, penentuan persentase tersebut hanya menguntungkan partai politik besar.
“Penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan,” kata Saldi.
Di sisi lain, Mahkamah menilai bahwa mempertahankan ketentuan PT Presiden dan Wakil presiden cenderung mengarah pada dua pasangan calon dalam Pilpres.
Padahal, kata Saldi, hal tersebut dapat menyebabkan masyarakat terpolarisasi dan dapat mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” katanya.
Apalagi, kata dia, dalam Pilkada terbaru telah muncul gerakan yang mengarah pada calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Dengan mempertahankan ambang batas tersebut, MK menilai hal tersebut berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” katanya.
Apalagi, kata dia, dalam Pilkada terbaru telah muncul gerakan yang mengarah pada calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Dengan mempertahankan ambang batas tersebut, MK menilai hal tersebut berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” katanya.*