Jumat, 13 Juni 2025
Menu

Urgensi Diskresi Presiden untuk Penuntasan Agenda Transformasi Jaminan Sosial Sesuai SJSN

Redaksi
Fungsionaris KSPSI Dr Subiyanto Pudin. I Ist
Fungsionaris KSPSI Dr Subiyanto Pudin. I Ist
Bagikan:

Dr Subiyanto Pudin

Ahli hukum Ketenagakerjaan/Fungsionaris KSPSI

 

Kasus korupsi investasi fiktif di PT Taspen yang kini diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta terbuktinya kasus korupsi Rp 22,788 triliun di PT Asabri  beberapa waktu lalu, menjadi tamparan keras bagi penyelenggaran sistem jaminan sosial nasional (SJSN) di Indonesia. Korupsi seperti ini menjadikan transformasi SJSN terasa lebih berat dan merugikan rakyat kebanyakan.

Padahal, pelaksanaan SJSN melalui kelahiran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah hasil perjuangan panjang yang penuh tantangan. Ada peran besar Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), sebuah aliansi kolektif yang dibentuk tiga konfederasi serikat pekerja/serikat buruh, yaitu KSPSI, KSPI, dan KSBSI,  dengan kepemimpinan tiga tokoh utama: Andi Gani Nena Wea, Said Iqbal, dan Mudhofir. Perjuangan ini dimulai sejak tahun 2009.

KAJS tidak hanya mengandalkan advokasi, tetapi juga menggunakan pendekatan hukum melalui gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh 120 orang. Gugatan ini mewakili kelompok masyarakat yang merasa pemerintah lalai melaksanakan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Gugatan tersebut menuntut pemerintah segera membentuk badan penyelenggara jaminan sosial sesuai amanat undang-undang.

Tim Pembela Rakyat untuk Jaminan Sosial. dipimpin advokat Surya Tjandra, berhasil membawa perkara ini ke pengadilan. Pada 13 Juli 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa Presiden, DPR, dan delapan kementerian telah lalai menjalankan UU SJSN. Majelis hakim memerintahkan pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret.

Di saat bersamaan, DPR memulai pembahasan RUU BPJS sebagai inisiatif legislatif. Setelah melalui perdebatan panjang dan tekanan massa KAJS di depan gedung Parlemen, pada 19 Oktober 2011, RUU BPJS disahkan menjadi UU Nomor 24 Tahun 2011.

Perjalanan mewujudkan UU BPJS tidaklah mudah. Terdapat tarik-menarik kepentingan antara berbagai pihak, baik dalam pemerintahan maupun di luar, termasuk perbedaan pandangan sistem ekonomi kapitalis dan sosialisme. Ada pula upaya mempertahankan skema bantuan sosial seperti Jamkesmas dan Jamkesda yang kala itu menjadi alat politik praktis.

Program-program jaminan kesehatan lokal itu sering kali tidak inklusif, sehingga menciptakan kesenjangan pelayanan kesehatan. Banyak daerah meluncurkan program jaminan kesehatan lokal seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kartu Papua Sehat (KPS), dan Kartu Aceh Sehat (KAS), tetapi semuanya memiliki kelemahan, terutama terkait prinsip portabilitas.

Program-program tersebut tidak menjamin keberlanjutan layanan pada saat peserta berpindah tempat tinggal atau pekerjaan. Program JKN oleh BPJS Kesehatan yang terintegrasi merupakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dirancang untuk menjawab problematika itu dan solusi ideal untuk mengurangi ketimpangan akses layanan kesehatan di Indonesia. Integrasi ke dalam BPJS memastikan pemerataan dan standarisasi layanan secara nasional.

Setelah disahkannya UU BPJS, KAJS membentuk BPJS Watch sebagai lembaga pengawas independen. Selanjutnya, lahir Jamkes Watch dan Komite Pengawas Jaminan Sosial sebagai kontrol sosial untuk memastikan implementasi UU BPJS berjalan sesuai amanat undang-undang. Fungsi pengawasan eksternal dilengkapi oleh lembaga seperti OJK, BPK, dan DJSN, yang bertujuan menjaga transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan program SJSN.

Implementasi UU BPJS memulai transformasi besar dalam SJSN Indonesia pada 1 Januari 2014, ketika PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan menjadi penyelenggara tunggal program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Proses ini mencakup pengintegrasian program Jamkesmas, program pemeliharaan kesehatan PT Jamsostek (Persero), dan Jamkesda secara bertahap.

Tak lama berselang, PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Entitas baru ini mengelola program jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan kini Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

 

Program Serupa di Taspen dan Asabri Wajib Ditransformasikan

Negara wajib memenuhi amanat Pasal 27 ayat (1) UUD 2945 yaitu “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Meski demikian, proses transformasi jaminan sosial masih menghadapi kendala. Pengalihan program serupa dari PT Asabri dan PT Taspen kepada BPJS Ketenagakerjaan, sebagaimana diamanatkan UU BPJS, belum berjalan sesuai rencana.

Pasal 65 UU BPJS menetapkan bahwa pengalihan ini harus selesai tahun 2029. Tapi pemerintah terkesan lamban memenuhi roadmap transformasi jaminan sosial.

Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 dan PP Nomor 102 Tahun 2015, misalnya, justru menunjukkan inkonsistensi. Program JKK dan JKM untuk pegawai pemerintah, termasuk TNI, Polri, dan pegawai non-ASN, masih dikelola terpisah oleh Asabri dan Taspen. Ketidakkonsistenan ini menciptakan ketidakpastian di kalangan peserta dan memperlemah kepercayaan publik terhadap SJSN.

Jika transformasi jaminan sosial tidak segera dilaksanakan sesuai UU SJSN dan UU BPJS, sejumlah prinsip dasar SJSN akan terancam. Prinsip keanggotaan wajib, misalnya, tidak berjalan untuk pegawai non-PNS di pemerintahan. Jutaan pegawai honorer, termasuk di tingkat kementerian, pemerintah daerah, serta pemerintah desa, belum terlindungi BPJS Ketenagakerjaan. Para wakil menteri, para tenaga ahli, para dirjen yang bukan PNS, juga tidak dilindungi jaminan sosial.

Bahkan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2009-2024, ketika masih diatur regulasi lama, juga tidak mendapat jaminan sosial ketenegakerjaan. Ironis, pemerintah seharusnya menjadi teladan dalam mematuhi setiap perundang-undangan.

Selain itu, prinsip gotong royong sebagai dasar keberlanjutan program SJSN juga terancam. Perbedaan besaran prosentase iuran JKK dan JKM antara Taspen dan Asabri dengan BPJS Ketenagakerjaan menciptakan potensi kerugian negara sebagaimana hasil kajian KPK. Hal ini berpotensi melemahkan akumulasi dana yang seharusnya dikelola dengan prinsip kehati-hatian untuk memberikan manfaat optimal kepada peserta.

Tidak hanya itu, prinsip portabilitas layanan juga belum sepenuhnya diterapkan. Program Jamsosnaker (JKK,JKM,JHT dan JP) bagi pegawai pemerintah masih dikelola terpisah, sehingga membatasi akses peserta terhadap layanan yang seharusnya seragam di seluruh Indonesia. Padahal, tanpa integrasi menyeluruh, SJSN tidak akan efektif mencapai tujuan utamanya. Prinsip gotong royong dan portabilitas harus diterapkan sepenuhnya agar semua warga negara, terutama yang berpindah-pindah pekerjaan, tetap mendapatkan perlindungan yang sama.

Pengelolaan jaminan sosial di Taspen dan ASABRI, yang merupakan perusahaan BUMN, tunduk pada aturan badan hukum privat, menghadirkan kerentanan pengawasan karena tidak berada dalam cakupan Monev SJSN oleh DJSN. Situasi inilah yang membuka peluang terjadinya permasalahan, seperti korupsi, sebagaimana menimpa ASABRI dan Taspen.

Kegagalan transformasi jaminan sosial juga dapat berdampak buruk pada keberlanjutan SJSN secara keseluruhan. Ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjalankan roadmap transformasi akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat dan bisa memicu persoalan sosial dan ekonomi lebih besar dalam jangka panjang.

 

Presiden Perlu Segera Terbitkan Diskresi

Transformasi sistem jaminan sosial yang inklusif dan berkelanjutan adalah amanat yang harus dilaksanakan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan mengintegrasikan seluruh program ke dalam BPJS, pemerintah dapat memastikan bahwa seluruh warga negara, tanpa kecuali, mendapatkan perlindungan sosial yang layak. Prinsip-prinsip dasar SJSN, seperti keadilan, keberlanjutan, dan gotong royong, harus menjadi panduan utama dalam setiap langkah implementasi.

Upaya mewujudkan sistem jaminan sosial yang inklusif memang masih panjang. Namun, sejarah lahirnya UU BPJS mengingatkan kita bahwa perubahan besar selalu dimulai dari tekad kuat dan kerja keras. Aliansi KAJS telah menunjukkan bahwa kolaborasi dan perjuangan bersama dapat menghasilkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Kini, saatnya meminta Presiden Prabowo Subianto mengambil diskresi kebijakan untuk menuntaskan transformasi jaminan sosial di Indonesia. Langkah ini penting guna menegaskan arah politik hukum jaminan sosial, menyelamatkan program negara, serta menuntaskan persoalan hukum yang berkaitan dengan UU BPJS. Transformasi ini juga esensial demi menciptakan ekosistem SJSN yang sehat, inklusif, produktif, dan berkelanjutan.*