Sabtu, 14 Juni 2025
Menu

Berbeda dengan Indonesia, Vietnam Turunkan PPN Jadi 8 Persen Demi Dorong Daya Beli Masyarakat

Redaksi
Ilustrasi PPN | Ist
Ilustrasi PPN | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILANVietnam baru-baru ini mengambil langkah signifikan dengan menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 8%. Kebijakan ini berlaku untuk sejumlah barang dan jasa tertentu, dengan tujuan demi mendorong daya beli dan pertumbuhan ekonomi.

Penurunan tarif PPN di Vietnam sebelumnya sudah diterapkan pada tahun 2022 pascapandemi dan berakhir pada Selasa 31/12/2024, kini diperpanjang hingga Juni 2025.

Berdasarkan regulasi yang disahkan pemerintah Vietnam, penurunan PPN ini berlaku untuk barang dan jasa di sektor properti, sekuritas, perbankan, dan telekomunikasi. Begitu juga dengan real estat, sektor informasi dan teknologi, batu bara, bahan kimia, serta produk dan jasa yang dikenakan pajak konsumsi khusus.

Kementerian Keuangan Vietnam memperkirakan turunnya PPN sebesar 2 persen akan membuat penerimaan negara berkurang sekitar US$1,02 miliar atau sekitar Rp16,29 triliun (asumsi kurs Rp15.970) pada paruh pertama 2025.

Meskipun demikian, pemerintah Vietnam optimis penurunan PPN ini akan membantu mendorong produksi dan bisnis, sehingga menciptakan pendapatan bagi anggaran negara.

Kebijakan penurunan PPN ternyata berhasil berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Vietnam. Pada 2022, ekonomi Vietnam tumbuh sebesar 8,02 persen, laju tercepat sejak 1997, didorong oleh ekspor dan penjualan eceran yang kuat. Pertumbuhan ini melampaui target pemerintah yang sebesar 6,0 hingga 6,5 persen.

Pada 2023, dampak kebijakan ini kembali terlihat dengan peningkatan penjualan eceran barang dan jasa sebesar 9,6 persen, menunjukkan peran penting penurunan PPN dalam menjaga pertumbuhan ekonomi Vietnam.

Berbeda dengan Vietnam, Indonesia justru akan menaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025. Meski begitu, kebijakan ini hanya berlaku untuk kelompok barang mewah, sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Sementara, barang dan jasa yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat luas akan tetap dibebaskan dari pengenaan PPN.

“Saya ulangi lagi, barang-barang yang tidak terkena PPN tetap akan dipertahankan, tetapi PPN 12 persen akan diberlakukan hanya untuk barang-barang yang dianggap mewah,” ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu 11/12/2024.

Sri Mulyani memastikan bahwa barang dan jasa yang selama ini tidak dikenai PPN akan tetap dibebaskan dari pajak tersebut. Barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, serta jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, keuangan, dan asuransi termasuk dalam kategori yang tetap bebas PPN. Selain itu, buku, vaksinasi, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air juga tidak akan dikenakan PPN.

Meski PPN dinaikkan menjadi 12%, pemerintah memproyeksikan kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp265,6 triliun pada tahun 2025 karena banyaknya barang dan jasa yang tetap bebas PPN. Sebagai perbandingan, potensi penerimaan yang hilang pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp231 triliun.

“Jika kita perkirakan, nilai barang dan jasa yang tidak dipungut PPN untuk tahun ini mencapai Rp231 triliun. Meskipun Undang-undang menyebutkan PPN 11 persen, banyak barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN. Hal yang sama juga akan diterapkan jika PPN naik menjadi 12 persen. Kami memperkirakan pembebasan PPN pada tahun depan akan mencapai Rp265,6 triliun,” pungkasnya.

Kenaikan tarif PPN menjadi salah satu langkah pemerintah untuk dapat mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri sehingga dapat menutupi defisit anggaran. Pemerintah berusaha untuk mengurangi penggunaan utang dengan meningkatkan penerimaan pajak serta menjaga stabilitas ekonomi negara.*

Laporan Zahra Ainaiya