Novel Baswedan soal Pansel Capim KPK: Yang Punya Track Record Baik Dianggap Tak Penuhi Syarat, Mereka Cari Apa?

FORUM KEADILAN – Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyeleksi 10 nama yang dianggap layak untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada 18-21 November 2024.
Tetapi, keyakinan soal kelayakan 10 nama tersebut masih dipertanyakan. Penyidik KPK periode 2007-2021 Novel Baswedan pun menjawab soal keraguan apakah 10 nama tersebut adalah yang terbaik.
Awalnya, Novel mengungkapkan bahwa kerja pansel capim KPK semestinya dimudahkan oleh berbagai lembaga negara yang dapat menelusuri track record dari nama-nama capim KPK tersebut.
Proses penyeleksian ini pun diikuti dan dinilai oleh publik dengan begitu banyak masukan-masukan yang mereka dapatkan. Dengan demikian, seharusnya informasi yang didapatkan oleh para pansel sudah cukup banyak untuk mengambil keputusan.
Selain penilaian dari masyarakat hingga banyak informasi yang didapatkan dari lembaga-lembaga negara, Novel juga menyebut soal adanya konsultan untuk bisa membantu para pansel mengambil keputusan.
“Biasanya, dan saya kira ini juga selalu dilakukan ya, ada konsultan. Konsultan ini biasanya juga dipake di perusahaan swasta maupun di perusahaan-perusahaan apa, di lembaga-lembaga negara, untuk mendapatkan soft kompetensi yang baik, untuk mendapatkan kecenderungan ini orang kalo ngomong suka bohong apa tidak, itu terbaca dalam psikologis,” ungkap Novel Baswedan dalam Podcast Obrolan Hebat Orisinil (OHEO) di Forum Keadilan TV, Minggu, 17/11/2024.
Namun, Novel meragukan apakah semua hal tersebut dimanfaatkan oleh para pansel atau tidak. Menurut dia, sepanjang hal-hal tersebut digunakan dengan baik oleh para pansel untuk menyeleksi, maka seharusnya nama-nama capim KPK saat ini sudah yang terbaik.
Novel melanjutkan, kini masyarakat sering kali dikejutkan dengan orang-orang yang memiliki rekam jejak baik tetapi dianggap tidak memenuhi syarat. Ia pun merasa heran, sebenarnya para pansel sedang mencari yang seperti apa.
“Hari ini kita sering dikagetkan gitu, orang-orang yang yang kita lihat track record-nya baik kemudian dianggap tidak memenuhi syarat. Ini sedang mencari apa gitu? Ini sedang mencari orang yang betul-betul diharapkan atau mencari orang yang, apa namanya, dipesankan gitu kan, ini yang menjadi pembeda,” sindir Novel.
Sepupu Anies Baswedan itu pun mempertanyakan, jika orang-orang bermasalah yang justru masuk dalam daftar capim KPK, apakah itu berarti semua informasi yang ada dan data-data dari lembaga-lembaga negara terkait tidak digunakan.
“Kalo mencari yang bisa diharapkan semua orang kita akan punya paham yang sama, kita tidak mungkin akan berdebat dalam konteks itu. Tapi, ketika ternyata yang masuk dalam kandidat ini orang bermasalah, kita heran. Apakah enggak dapat informasi? Apakah tidak menggunakan data dari lembaga-lembaga negara yang ada? Kan banyak hal yang kemudian kita bisa pertanyakan,” pungkas Novel.
Ia kemudian melanjutkan, ungkapannya tersebut merupakan cerminan dari para pimpinan KPK yang direkrut pada 2019, di mana 4 dari 5 justru bermasalah.
Novel membeberkan, proses rekrutmen biasanya menggunakan konsultan hingga ahli psikologi. Bahkan ada salah satu pansel yang kala itu memiliki latar belakang psikologi politik, yaitu Hamdi Muluk.
“Jadi kalo proses rekrutmen itu, biasanya pake konsultan, pake ahli-ahli psikolog. Panselnya ada yang dari psikolog juga, Hamdi Muluk seinget saya. Dia professor ga main-main,” tutur Novel.
Walaupun demikian, Novel tetap merasa heran karena kesalahan yang bisa saja terjadi dalam suatu proses seleksi, maksimal hanya sepuluh persen. Tapi, pada penyeleksian capim KPK di tahun 2019, justru kesalahannya dinilai mencapai 80 persen.
“Tapi biasanya eror itu maksimal ya sepuluh persenlah, sepuluh persen pun jelek lah gitu. Lima persen itu sudah oke lah tidak boleh lebih lagi. Kalo erornya 80 persen antara dua, orang-orang ini tidak berintergritas, atau tidak kompeten, itu aja pilihannya pak,” sindir Novel.
Mantan penyidik KPK ini pun menyebut, masyarakat sebagai pemilik kepentingan mengharapkan kinerja yang baik dan profesionalitas dari para pimpinan KPK tersebut. Hal ini lantaran para pimpinan KPK juga dibayar oleh masyarakat.
“Kita sebagai masyarakat tuh sama, kita sebagai pemilik nih, sebagai owner-nya nih, owner-nya dari suatu kepentingan semuanya. Ketika ternyata orang-orang yang dibayar, kan pejabat-pejabat itu kan dibayar, bukan kerja untuk gotong royong kan. Dia dibayar oleh kita, masyarakat. Dan kemudian diharapkan dengan dibayar itu kerja yang baik dong, kerja yang profesional dong untuk masyarakat,” tuturnya.
Sangat mengecewakan, kata Novel, jika para pejabat negara, salah satunya pimpinan KPK, justru tidak menjalankan tugasnya dengan baik untuk masyarakat. Menurutnya, masyarakat patut marah dan memberikan kritik serius jika hal tersebut terjadi.
“Tapi mengecewakan gitu, dan salahnya fatal. Kita harus ngomong gitu kan, ya ngumpat jangan sih ya, tapi paling tidak marah. Kita tunjukkan kita marah dan kita mengkritik dengan serius lah,” tandasnya.*