FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) diminta membatalkan panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang telah dipilih pada akhir masa pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
Permohonan tersebut diajukan oleh pegiat anti-korupsi yang juga sebagai Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman, yang terdaftar dengan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) Nomor AP3:156/PUU/PAN.MK/AP3/11/2024.
Boyamin menguji konstitusionalitas norma Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aturan ini mengatur tentang pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan usulan oleh Presiden.
“Saya mendaftar permohonan uji materi tentang sah tidaknya pansel yang dibentuk Pak Jokowi karena menurut versi saya yang berwenang dan sah itu hanya bentukan Pak (Presiden) Prabowo Subianto,” kata Boyamin saat mendaftarkan permohonan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 5/11/2024.
Menurut Boyamin, hal itu sejalan dengan pertimbangan putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022, di mana Mahkamah menegaskan bahwa yang berwenang membentuk pansel dan mengirimkan hasil pansel capim dan Dewas KPK kepada DPR adalah Presiden periode 2024-2029.
Mahkamah juga kembali menegaskan pada putusan MK Nomor 68/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Novel Baswedan dan beberapa eks Penyidik KPK lainnya.
Dalam pertimbangannya, MK menyesuaikan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun agar pada saat penggantian pimpinan KPK yang dihasilkan pansel tidak lagi disetujui dan diangkat oleh pemerintahan pada periode yang sama dengan periode pemerintahan ketika pimpinan KPK dan Dewas diangkat.
Menurut MK, pertimbangan tersebut didasarkan agar pemilihan pimpinan lembaga anti rasuah lebih terjamin independensi karena tidak ada lagi ketergantungan pada pemerintahan sebelumnya.
Saat ini, DPR telah menerima 10 orang calon Pimpinan KPK dan Dewas KPK yang diserahkan Jokowi pada 15 Oktober 2024. Menurutnya, DPR justru berpotensi mengesahkan calon-calon yang diserah
“DPR berpotensi akan mengesahkan calon-calon yang diserahkan oleh Presiden Jokowi yang mana jelas bertentangan dengan Pertimbangan Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022,” kata Boyamin.
Apalagi, kata Boyamin, dia telah berupaya menyurati Presiden Indonesia ke-7 itu agar tidak mengirimkan nama-nama calon pimpinan KPK.
Selain itu, Boyamin juga berkirim surat ke Prabowo untuk mengajukan permohonan pembentukan pansel KPK yang baru, namun belum mendapatkan respons.
“Maka saya mau nggak mau, ya, terpaksa dan ikhlas datang ke Mahkamah Konstitusi untuk memastikan siapa sih yang berwenang, membentuk dan menyerahkan (capim KPK) pada DPR” katanya.
Boyamin beranggapan terdapat dua alasan untuk Mahkamah membatalkan pansel capim KPK yang telah dibentuk pada era Jokowi. Alasan pertama, kata dia, Prabowo tidak mendapat kesempatan untuk memilih pimpinan KPK.
Selain itu, apabila keabsahan Pimpinan KPK tidak sah, maka hal tersebut akan menjadi obyek gugatan Praperadilan untuk membatalkan status tersangka para koruptor.
“Tidak sahnya apa? Karena di bentuk pansel dan diserahkan kepada DPR oleh Presiden Jokowi atau Presiden sebelumnya,” katanya.
Boyamin mencontohkan kasus Yusril Ihza Mahendra yang pernah batal ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait kasus Sistem Administrasi Badan Hukum. Namun, Yusril terbebas dari jerat hukum karena Jaksa Agung Hendarman Supandji dinyatakan tidak sah karena belum dilantik.
“Dan itu dikabulkan di MK. Akhirnya bubar Pak Yusril di SP3. Bebas dari sisi itu yang memang tidak terkubukti karena yang lain bebas,” kata dia.
Boyamin menegaskan bahwa tersangka bisa mengajukan gugatan atas tidak sah nya pimpinan yang menjabat di suatu lembaga. Di samping itu, Boyamin juga berupaya untuk menjaga Presiden Prabowo Subianto.
“Supaya ini benar dan tidak menimbulkan risiko nanti misalnya kalau digugat dan dimenangkan itu dengan status itu kan berarti yang bubar bukan hanya KPK, pemberantasan korupsi bisa jadi bubar,” katanya.
Untuk itu, dalam petitum permohonannya Boyamin meminta agar Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU KPK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai capim KPK dipilih DPR berdasarkan usulan Presiden yang masa jabatannya sama dengan calon pimpinan KPK dan Dewas KPK.*
Laporan Syahrul Baihaqi