Selasa, 24 Juni 2025
Menu

MK Ubah Ketentuan Desain Surat Suara Pilkada Calon Tunggal untuk Tahun 2029

Redaksi
Sidang Putusan Perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 14/11/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Sidang Putusan Perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 14/11/2024 | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah ketentuan desain surat suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan satu pasangan calon atau calon tunggal dengan menjadi model plebisit dan mulai berlaku pada Pilkada 2029.

Dalam Putusan Perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa pilkada calon tunggal dilakukan dengan menggunakan surat suara yang memuat nama dan foto pasangan calon, serta dua kolom kosong di bagian bawah yang berisi atau memuat pilihan untuk menyatakan ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ terhadap satu pasangan calon tersebut.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis, 14/11/2024.

Dalam pertimbangannya, MK menyoroti narasi dalam surat suara yang digunakan pada pilkada dengan calon tunggal yang berbunyi “Coblos pada: Foto pasangan calon atau kolom kosong tidak bergambar”.

Menurut Mahkamah, narasi keterangan tersebut bukan suatu bentuk narasi yang utuh dan komprehensif dalam penyajian suatu pilihan karena tidak dilengkapi dengan narasi yang menggambarkan implikasi dari masing-masing pilihan.

Oleh karena itu, Mahkamah menilai narasi keterangan dimaksud dapat menimbulkan mispersepsi bagi pembaca, mengingat tidak semua pemilih mengerti bahwa kolom kosong merupakan tempat untuk menyatakan pilihan tidak setuju terhadap calon tunggal.

“Sehingga dapat menimbulkan mispersepsi bagi pembaca narasi keterangan tersebut, khususnya dalam hal ini bagi para pemilih tertentu, karena tidak semua pemilih mengerti bahwa kolom kosong merupakan sebuah tempat untuk menyatakan pilihan tidak setuju jika satu-satunya pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dimaksud menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan.

Lebih lanjut, MK berpendapat, kesalahpahaman akibat ketiadaan informasi atau penjelasan yang utuh dalam keterangan yang dimuat pada desain surat suara untuk pilkada calon tunggal, secara langsung akan berdampak kepada para pemilih dalam mengambil keputusan.

“Akibatnya, terdapat potensi ketidakseimbangan dalam memilih. Dalam hal ini, yang lebih diuntungkan adalah pilihan yang lebih banyak memuat informasi, seperti pilihan kolom yang memuat foto pasangan calon, lengkap dengan nama calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga cenderung lebih menarik para pemilih,” lanjut Saldi.

MK berpendapat bahwa desain surat suara yang demikian tidak memberikan keseimbangan dalam pilkada yang demokratis dan jauh dari asas-asas pemilu yang diamanatkan UUD NRI Tahun 1945.

Untuk itu, MK masih tetap pada pendirian Putusan sebelumnya yang menghendaki agar kontestasi pilkada dengan calon tunggal kembali memakai model plebisit, yaitu model yang meminta para pemilih untuk menentukan ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ terhadap calon tunggal.

Meski begitu, pilihan tersebut masih memiliki persoalan karena terdapat pemilih yang tidak bisa atau memiliki keterbatasan baca-tulis. Mahkamah lantas memerintahkan penyelenggara Pemilu untuk menyosialisasikan secara intensif makna kata ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ dalam surat suara pilkada calon tunggal.

Di sisi lain, Mahkamah juga menggarisbawahi fakta bahwa Pilkada 2024 telah mendekati tahap pemungutan suara dan begitu pula tahapan pencetakan surat suara telah dilakukan, sehingga model desain surat suara yang diubah oleh MK tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pada pilkada tahun ini.

“Oleh karena itu, desain atau model surat suara baru dengan model plebisit dalam pilkada dengan satu pasangan calon dimaksud, mulai diberlakukan pada Pilkada 2029,” tambah Saldi.

Sebagai informasi, permohonan tersebut diajukan oleh mahasiswa dan karyawan swasta, Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. Salah satu pokok permohonan para Pemohon berkaitan dengan desain surat suara dalam Pasal 54C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

MK menyimpulkan, dalil permohonan para Pemohon terkait desain surat suara tersebut beralasan menurut hukum sebagian. Oleh karena itu, MK menyatakan Pasal 54C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 inkonstitusional bersyarat.*

Laporan Syahrul Baihaqi