FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan kepada Presiden dan DPR agar memisahkan kluster ketenagakerjaan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) dan memberikan waktu dua tahun untuk membentuk aturan ketenagakerjaan yang baru.
Mahkamah juga menemukan adanya peraturan pelaksanaan dibuat tanpa adanya delegasi dari UU Omnibus Law Ciptaker.
Dalam putusan perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja serta dua individu lain terkait kluster ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa tata kelola ketenagakerjaan yang terus dibiarkan dengan peraturan yang tumpang tindih akan membawa dampak ketidakpastian hukum dan ketidakadilan berkepanjangan.
“Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan/diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pembentuk Undang-Undang segera membentuk Undang-Undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU Cipta Kerja,” ucap Enny saat membacakan konklusi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis, 31/10/2024.
Menurut Mahkamah, adanya UU baru tersebut dapat menyelesaikan masalah soal ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan.
Meski beberapa materi lama dalam UU 13/2003 tidak mengalami perubahan pada UU Cipta Kerja dan sebagian aturan ketenagakerjaan lain tetap merujuk kepada sejumlah putusan Mahkamah, Namun, Mahkamah menilai terdapat kemungkinan adanya materi/substansi di antara kedua undang-undang a quo tidak sinkron atau tidak harmonis antara yang satu dengan yang lainnya.
“Bahkan, ancaman tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis demikian akan semakin sulit dihindarkan atau dicegah dengan telah dinyatakan sejumlah norma dalam UU Ketenagakerjaan lama dan dalam klaster ketenagakerjaan pada UU Cipta Kerja di mana sejumlah norma telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” katanya.
Oleh karena itu, perhimpitan norma yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan lama dan UU Cipta Kerja sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi para pekerja.
“Perhimpitan norma ini sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, terutama kepada kaum pekerja,” katanya.
Selain itu, Mahkamah juga turut mempersoalkan adanya peraturan pemerintah (PP) yang dibuat tanpa adanya delegasi dari UU Cipta Kerja. MK juga menemukan fakta bahwa terdapat banyak materi dalam peraturan pemerintah yang seharusnya dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Tidak hanya itu, terdapat banyak materi dalam peraturan pemerintah, yang jikalau diletakkan dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan, merupakan materi yang seharusnya menjadi materi undang-undang, bukan materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Undang-Undang.
Dengan menggunakan dasar pemikiran tersebut, waktu paling lama 2 (dua) tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat Undang-Undang Ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU 13/2003 dan UU 6/2023, serta sekaligus menampung substansi dan serhangat sejumlah putusan Mahkamah yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh.
Enny mencontohkan beberapa materi diantaranya ialah, materi yang berkenaan dengan kewajiban pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha. Padahal, merujuk Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 pembatasan hanya dapat dilakukan dengan produk hukum berupa undang-undang.
Sebagai informasi, Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan 2 individu lain yaitu Mamun dan Ade Triwanto melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Dalam permohonannya, terdapat 71 petitum yang dimohonkan pemohon agar Mahkamah membatalkan pasal-pasal terkait sektor ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, mereka juga memohon agar Mahkamah menghidupkan kembali norma yang sudah dicabut.
Para Pemohon menguji tujuh klaster dan sekitar 50 norma dalam UU Cipta Kerja.
Adapun klaster-klaster dimaksud yaitu, Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK).
Sejumlah Perubahan
MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. MK setidaknya mengabulkan pengujian konstitusional 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang dimohonkan oleh Partai Buruh.
Dalam kluster penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), pada Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 MK menegaskan bahwa setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. TKA yang bekerja di Indonesia juga dibatasi untuk jabatan dan waktu tertentu. Pemberi kerja juga diwajibkan untuk menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping TKA agar dapat terjadi alih teknologi dan keahlian dari Pekerja asing.
Selain itu, MK menegaskan, penggunaan TKA tersebut harus didasarkan pada kebutuhan yang jelas dan terukur, serta tidak boleh merugikan kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia. Apabila, norma UU tidak memberikan pembatasan, peraturan yang lebih rendah berpotensi untuk melanggar pembatasan terhadap TKA tersebut, sehingga memungkinkan suatu perusahaan menyerap TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus.
Dalam kluster Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pada Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81, MK memutuskan bahwa jangka waktu dalam PKWT tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan. Tak hanya itu,
Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81, MK juga menyatakan bahwa perjanjian kerja PKWT harus dibuat secara tertulis. Hal ini untuk memberikan perlindungan atas hak-hak pekerja atau buruh. Selain itu, MK juga meminta pembentuk UU agar mengatur jangka waktu PKWT dalam UU, bukan dalam PP.
Dalam kluster pekerjaan alih daya atau outsourcing, Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 MK meminta Menteri Ketenagakerjaan menentukan jenis pekerjaan yang boleh menggunakan Outsourcing. Selain itu, Mahkamah juga menegaskan bahwa aturan tersebut harus diatur dalam perundang-undangan guna memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja.
Dalam klaster cuti, Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 Mahkamah memberikan opsi alternatif untuk hari libur yaitu dengan pola waktu istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja atau dua hari untuk lima hari kerja.
Dalam klaster pengupahan, Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 MK menegaskan bahwa setiap buruh berhak atas penghidupan yang layak sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar.
Selain itu, dalam Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 MK menegaskan bahwa penyusunan kebijakan pengupahan juga tidak boleh ditentukan oleh pemerintah pusat semata, melainkan harus melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah daerah, Dewan Pengupahan, organisasi pengusaha, serikat pekerja, pakar dan akademisi. Lebih lanjut, pada Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 3, Dewan Pengupahan harus berpartisipasi secara aktif dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan guna memberikan saran untuk pemerintah pusat dan daerah.
Sedangkan pada Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27, MK memutuskan struktur dan skala upah itentukan secara proporsional. Lebih lanjut, Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 mengatur agar pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
Pada Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28, selain kembalinya ketentuan upah minimum sektoral, MK juga menegaskan bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.
Pada Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 MK juga menafsirkan frasa indeks tertentu yang dipersoalkan buruh. Menurut Mahkamah, indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja dengan menerapkan prinsip proporsionalitas kebutuhan hidup layak pekerja.
Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28, Mahkamah menegaskan bahwa penentuan upah minimum dalam keadaan tertentu hanya terbatas pada bencana alam atau non alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan UU.
Pada Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 3, MK menyatakan bahwa upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja atau Serikat Pekerja di perusahaan.
Sedangkan terkait perusahaan dinyatakan pailit sebagaimana tertuang pada Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36, MK menegaskan bahwa hak pekerja yang tercantum pada ayat (1) harus didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Dalam klaster Pemutusan hubungan kerja (PHK), pada Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 MK menegaskan bahwa PHK menjadi pilihan terakhir bagi perusahaan. Untuk itu, perusahaan wajib melakukan perundingan bipartit. Apabila tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Terakhir, dalam klaster uang pesangon sebagaimana tertuang pada Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47, MK menyatakan frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan mengubahnya menjadi frasa “paling sedikit“. Hal ini membuka peluang pekerja/buruh mendapatkan uang pesangon di atas jumlah “paling sedikit” tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh yang terkena PHK.
Kemenangan Rakyat
Ditemui usai persidangan, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan Putusan Nomor 168/2023 merupakan kemenangan rakyat yang menandai kembali hidupnya demokrasi. Ia menegaskan bahwa demokrasi tidak lagi dikuasai oleh segelintir elit.
“Dengan demikian, ini adalah kemenangan kita kembali, rakyat, buruh, buruh formal, buruh informal, bahkan kaum petani dan kelas pekerja lain,” kata Said kepada wartawan.
Said pun turut mengapresiasi kesembilan Hakim Konstitusi karena telah memberikan putusan yang mencerminkan keadilan terhadap masyarakat. Apalagi, kata dia, tidak ada hakim yang memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion pada putusan perkara Nomor 168/2023.
Menurutnya, Omnibus Law Cipta Kerja dalam kluster ketenagakerjaan saat ini hanya menguntungkan para pemilik modal dan merugikan para kaum pekerja.
“Nasib kita diatur oleh pemilik modal, kita keluar keringat buat bayar pajak. Tapi yang ngatur tentang kesejahteraan kita, orang yang punya uang dan itu di endorse oleh kekuasaan,” tegasnya.
Said pun menitipkan pesan kepada Presiden Prabowo Subianto dan jajaran pimpinan DPR agar menghormati putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Apalagi, kata dia, Presiden Prabowo dalam pidato pertama di Geding MPR menegaskan akan taat pada konstitusi dan berpihak kepada rakyat.
“Kami minta kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto. Dengan segala rasa hormat kami, dengan rasa percayaan kami kepada Bapak untuk mentaat konstitusi. Jangan ditafsirkan lain terhadap putusan MK,” katanya.
Said lantas mewanti-wanti kepada DPR agar tidak mengulangi kesalahan yang sama pada saat menyusun rancangan Undang-Undang Pilkada.
Jika hal tersebut terjadi, kata Said, maka akan terjadi perlawanan yang besar dari para buruh dan masyarakat dengan melakukan aksi mogok nasional yang dapat berpengaruh terhadap iklim ekonomi di Indonesia.*
Laporan Syahrul Baihaqi