Menuju Babak Akhir Putusan Cipta Kerja

Suasana demo Partai Buruk tolak Omnibus Law Cipta Kerja
Suasana demo Partai Buruk tolak Omnibus Law Cipta Kerja | Forum Keadilan/Merinda Faradianti

FORUM KEADILAN – Setelah melewati serangkaian persidangan, permohonan uji materiil terhadap Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja (Ciptaker) akan melewati babak akhir. Pemohon mengharapkan agar Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kluster ketenagakerjaan di UU Ciptaker.

Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.

Bacaan Lainnya

Dalam permohonannya, terdapat 71 petitum yang dimohonkan Pemohon agar Mahkamah membatalkan pasal-pasal terkait sektor ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, mereka juga memohon agar Mahkamah menghidupkan kembali norma yang sudah dicabut.

Adapun klaster-klaster ketenagakerjaan yang dipersoalkan, yaitu Lembaga Pelatihan Kerja; Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja; Tenaga Kerja Asing; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); Pekerja Alih Daya (Outsourcing); Waktu Kerja; Cuti; Upah dan Upah Minimum; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Uang Pesangon (UP), Uang Penggantian Hak (UPH), dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK); Penghapusan Sanksi Pidana; dan Jaminan Sosial.

Ketua MK Suhartoyo yang memimpin jalannya persidangan mengatakan bahwa sidang hari Rabu, 17/7/2024 merupakan agenda persidangan terakhir dan ia meminta kepada Pemohon serta pemerintah untuk menyiapkan kesimpulan sebagai bahan pertimbangan Mahkamah untuk mengambil putusan.

Dalam persidangan, pihak pemerintah tidak berniat untuk menghadirkan saksi ataupun ahli, sementara dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak hadir dan tidak pula memberikan keterangan tertulis atas pengujian UU Cipta Kerja.

“Ini adalah sidang yang terakhir, oleh karena itu kepada Pemohon dan pemerintah diminta untuk menyerahkan kesimpulan, meskipun ini tidak wajib, tapi sebaiknya ini perkara yang dimensinya penting. Jadi saya kira lebih bagus bila menyerahkan kesimpulan yang lengkap,” ucap Suhartoyo dalam persidangan, Rabu, 17/7.

Tidak seperti pada persidangan dua minggu sebelumnya yang diikuti oleh lima Hakim Konstitusi, agenda sidang mendengarkan keterangan saksi dan ahli dihadiri langsung oleh seluruh hakim konstitusi.

Selain itu, terdapat perubahan tempat duduk hakim konstitusi, di mana Arief Hidayat yang biasanya berada di sebelah kanan Ketua MK Suhartoyo, digantikan oleh Enny Nurbaningsih.

Hakim Cecar Pemerintah

Selama pengujian materiil UU Cipta Kerja, Enny Nurbaningsih menjadi salah satu hakim yang paling aktif dalam memberikan pertanyaan kepada Pemohon dan perwakilan pemerintah.

Enny mempertanyakan kepada ahli yang dihadirkan Pemohon terkait apakah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lebih baik daripada Omnibus Law Cipta Kerja. Apalagi, kata dia, UU lama Ketenagakerjaan telah berulang kali dimohonkan untuk direvisi dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Enny juga mencecar perwakilan pemerintah terkait penggunaan frasa ‘indeks tertentu’ dalam menentukan upah minimum yang dibahas di dalam Dewan Pengupahan. Ia juga bertanya terkait gambaran seperti apa untuk menentukan layak atau tidaknya dalam penentuan formula upah minimum.

“Saya ingin mendapatkan keterangan tambahan dari pemerintah yang lebih komprehensif apa yang dimaksud dengan formula pengupahan minimum, dari ekonomi, inflasi dan indeks tertentu, karena ini diturunkan ke Peraturan Pemerintah (PP), apa kemudian maksud di balik adanya indeks tertentu?” ucap Enny.

Selain itu, Enny meminta data seberapa banyak pekerja Outsourcing, serta data pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sebelum dan sesudah UU Cipta Kerja berlaku. Ia juga meminta data PP apa saja yang telah diterbitkan pemerintah dari UU Cipta Kerja.

Wakil Ketua MK Saldi Isra turut mempertanyakan seberapa banyak peraturan pelaksana yang telah dibuat oleh pemerintah. Menurutnya, apabila semakin banyak aturan turunan dalam sebuah Undang-Undang, maka akan semakin terbuka kemungkinan untuk disimpangi.

Apalagi, dalam membentuk peraturan di bawah UU dilakukan sendiri oleh pemerintah tanpa ada kontrol dari DPR dan masyarakat.

“Tolong sampaikan pada kita, karena begini, sebetulnya kalau UU semakin banyak delegasinya semakin terbuka kemungkinan untuk disimpangi di level peraturan yang lebih rendah. Karena apa, karena peraturan yang lebih rendah dibuat dengan pemerintah sendiri. Kalau UU masih ada DPR yang terlibat di situ, masih ada kontrol,” kata Saldi.

Saldi juga mempertanyakan apakah terdapat perbedaan substansi antara UU Cipta Kerja yang pernah dibatalkan MK dengan Perppu Cipta Kerja.

Untuk diketahui, MK pernah menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil dan menyatakan inkonstitusionalitas bersyarat. Hal tersebut diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan dalam sidang putusan pada Kamis, 25/11/2021.

Mahkamah menyatakan bahwa pembentuk Undang-Undang harus melakukan perbaikan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan. Meski begitu, UU tersebut juga tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan.

Dalam pertimbangan, Mahkamah menyatakan bahwa tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan Undang-Undang. Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden.

Mengerdilkan Hak Buruh

Dalam sidang lanjutan uji materiil UU Cipta Kerja ini, Ahli yang dihadirkan oleh Pemohon, Zainal Arifin Mochtar, menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja lahir tanpa adanya partisipasi publik yang memadai atau meaningfull participation, sehingga banyak aturan-aturan aneh di dalamnya.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada itu juga mengingatkan kepada pemerintah dan DPR untuk melibatkan masyarakat dalam setiap pembuatan UU, karena masyarakat serta buruh yang terkena imbas dari regulasi tersebut.

Selain itu, Zainal menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja telah meredam hak-hak buruh dan menunjukkan relasi kedekatan antara negara dengan pengusaha. Ia menilai, terdapat ketidakseimbangan peran negara yang lebih berpihak pada pengusaha. Hal ini, menurutnya, dapat memicu konflik kepentingan dan menghasilkan UU yang tidak memadai.

“Ketika penguasa terlalu dekat dengan pengusaha atau kemudian penguasa itu sering kali menjamak kerjaannya sebagai pengusaha, sehingga konflik kepentingannya itu sangat mudah terjadi, dan akhirnya tidak bisa membangun UU secara memadai,” katanya.

Sementara itu, Presiden Partai Buruh Said Iqbal yang dihadirkan sebagai saksi oleh Pemohon mengungkapkan fakta-fakta di lapangan bahwa banyak kaum buruh yang terdampak dan mengalami kerugian atas berlakunya Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, UU ini telah merugikan buruh dengan menghilangkan hak-hak fundamental mereka.

Selain itu, Said juga mengkritik ketentuan frasa ‘indeks tertentu’ yang menurutnya menjadi domain pemerintah untuk menentukan upah minimum. UU Cipta Kerja mengatur kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

Said menyebut, dalam UU Ketenagakerjaan lama, terdapat aturan di mana Dewan Pengupahan melakukan perundingan dengan serikat pekerja untuk menentukan parameter kebutuhan hidup layak.

Meskipun Dewan Pengupahan masih tertuang dalam Perppu Cipta Kerja, namun Said menyebut bahwa Dewan telah kehilangan fungsinya. Said menilai, pemerintah telah secara sewenang-wenang dalam mengatur ketentuan upah minimum tanpa adanya perundingan.

“Buruh dirugikan akibat adanya indeks tertentu yang ditentukan oleh pemerintah tersebut. Tahun 2020, 2021 dan 2022, fakta di lapangan tidak ada kenaikan upah dan ditentukan oleh pemerintah,” ucap Said.

Said menegaskan bahwa Perppu Cipta Kerja telah gagal dalam melindungi hak-hak buruh. Untuk itu, ia berharap kepada Mahkamah agar menegakkan rasa keadilan kepada buruh karena kluster Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja menjadi persoalan serius bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Kalau keadilan tidak dapat kami temukan di Mahkamah, maka keadilan itu akan kami cari di jalan,” tuturnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait