Kamis, 12 Juni 2025
Menu

Ketika Negara Tidak Dapat Menjamin Kesejahteraan Hidup Hakim

Redaksi
Sekretaris Bidang Advokasi IKAHI, Djuyamto alam Podcast Bias Kasus Forum Keadilan di Forum Keadilan TV | YouTube Forum Keadilan TV
Sekretaris Bidang Advokasi IKAHI, Djuyamto alam Podcast Bias Kasus Forum Keadilan di Forum Keadilan TV | YouTube Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Sekretaris Bidang Advokasi IKAHI, Djuyamto menjelaskan menyoal Negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan dan keamanan hakim berdasarkan Undang-Undang (UU) Kehakiman Pasal 48 Ayat (1).

Hal ini disampaikan dalam Podcast Bias Kasus Forum Keadilan yang dipandu oleh Charlie Adolf LT di Forum Keadilan TV.

“Nah, itulah kenapa diundang-undang kekuasaan kehakiman pasal 48 ayat 1 itu tegas menyebutkan Negara menjamin kesejahteraan dan keamanan hakim. Nah, disana ada tujuannya di ayat 2 itu agar apa, agar hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bisa menjaga independensi kekuasaan kehakiman,” ujar Djuyamto di Forum Keadilan TV, dikutip pada Rabu, 16/10/2024.

“Kita kembalikan ke konstitusi kita, pelaku kekuasaan kehakiman itu kan para hakim, di mana kekuasaan kehakiman dan kekuasaan Yudikatif itu harus bebas dari campur tangan apapun termasuk cabang kekuasaan lainnya,” lanjutnya.

Ia menekankan bahwa negara lah yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk dapat memeriksa, memutus, hingga mengadili perkara atas nama negara. Namun, Djuyamto menyebut bahwa jika negara memberikan kewenangan tersebut, haruslah negara juga dapat menjamin kesejahteraan hakim agar dapat independen.

“Karena kekuasaan kehakiman itu harus independen, karena dia akan menghadapi sengketa, akan menghadapi beberapa pihak yang berkepentingan, jadi harus ditengah-tengah, seperti itu,” tegasnya.

Pendapatan gaji hakim, kata Djuyamto, dibandingkan ketika PP Nomor 94 Tahun 2012 mengalami penurunan, mengingat kebutuhan pada tahun 2012 dan 2024 tentu berbeda.

“Sebagai ungkapan, apa namanya betapa kecilnya perolehan atau pendapatan gaji pendapatan hakim sekarang itu, kalau dibandingkan dengan ketika PP Nomor 94 Tahun 2012 itu turun. Kita lihat kebutuhan pada tahun 2012 dengan kebutuhan tahun 2024, tentu kan berbeda. Harga-harga tentu sudah berbeda, dengan nilai katakanlah waktu itu kita perjuangkan kemudian, katakanlah hakim pertama mendapat tunjangan jabatan 10 juta sekian tahun 2012 saat itu memang besar sekali ” jelasnya.

“Saat itu besar sekali, tapi sekarang 10 juta sekian itu dengan kebutuhan teman-teman hakim di daerah, termasuk kami juga yang di Jakarta itu kan, 27 juta hidup di Jakarta dengan gaji yang seperti itu dengan tingkat kebutuhan masing-masing itu kalau dikaitkan dengan apa tadi yang dikiaskan sebagai apa, uang jajannya Rafathar ya memang itu semacam apa ya, sarkasme aja itu ya.” pungkasnya.

Sebagai informasi, setidaknya 1.1748 hakim sepakat melakukan aksi cuti bersama selama sepekan per 4 Oktober lalu. Para hakim ini menuntut pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan hakim.

Para hakim ini tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) yang melakukan aksi protes tersebut. SHI mengajukan cuti bersama, sebagai unjuk rasa terkait gaji dan tunjangan yang tidak naik-naik selama 12 tahun.

Gaji dan tunjangan jabatan hakim sampai hari ini belum pernah melewati proses penyesuaian, walaupun terdapat infasi setiap tahunnya. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.

PHI juga menyinggung terkait kesejahteraan hakim yang belum dapat memadai. Hal ini sungguh mengkhawatirkan karena memberikan dampak pada situasi hakim yang menjadi rentan terhadap praktik korupsi, buntut penghasilan yang tidak cukup memenuhi kehidupan sehari-hari.

Mahkamah Agung (MA) pun telah mengeluarkan Putusan Nomor 23P/HUM/2018 yang dengan tegas memerintahkan peninjauan ulang pengaturan gaji hakim.*