FORUM KEADILAN – Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menilai aksi demonstrasi para hakim menuntut kenaikan gaji dalam aksi cuti masal tidak etis. Justru seharusnya para hakim menyampaikan aspirasi mereka melalui lembaga kehakiman, bukan dengan turun ke jalan.
“Saya melihat ada aspirasi yang disampaikan secara baik untuk menuntut kesejahteraan. Namun, seharusnya lembaga kehakiman yang memfasilitasi dan menampung aspirasi para hakim, bukan dengan berdemonstrasi,” ujar Trubus kepada Forum Keadilan, Senin, 7/10/2024.
Trubus juga mengingatkan bahwa hakim merupakan bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tunduk pada regulasi pemerintah, terutama dalam hal penggajian. Sebab, kata dia, aksi demonstrasi atau unjuk rasa itu lebih mengesankan hakim sebagai lembaga non-pemerintah, padahal lembaga kehakiman itu berada di bawah kementerian.
“Jadi, kalau hakim demo naik gaji, hal itu sudah diatur oleh peraturan pemerintah, karena mereka adalah ASN,” ungkap Trubus.
Selain itu, sambung Trubus, aksi unjuk rasa yang dilakukan para hakim berpotensi memicu tindakan serupa dari ASN di lembaga lain, seperti TNI dan Polri. Di samping itu, tuntutan kenaikan gaji harus disesuaikan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan kapasitas ekonomi Indonesia yang belum sebanding dengan negara-negara maju.
“Demo para hakim ini tidak layak dan tidak tepat karena terkait dengan APBN. Tidak bisa disamakan negara kita dengan negara maju, karena kapasitas negara berbeda-beda. Indonesia bukan negara maju,” tegasnya.
Trubus mengusulkan agar para hakim sebaik melakukan dialog dibanding aksi jalanan untuk membahas masalah kesejahteraan hakim. Karena itu, ia juga mengusulkan agar hakim-hakim yang ngotot melakukan aksi demonstrasi diberikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan disiplin ASN.
“Mereka yang berdemo harus disanksi. Hakim yang ngotot harus diambil langkah-langkah hukum tegas, sesuai PP Nomor 94 (tahun 2021) tentang Kedisiplinan ASN,” ujar Trubus.
Diketahui para hakim melakukan demonstrasi atau mogok masal dari tanggal 7 hingga tanggal 11 Oktober 2024. Akibat dari aksi mogok ini, hampir 100 agenda sidang bakal tertunda di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan.*
Laporan Reynaldi Adi Surya