Selasa, 15 Juli 2025
Menu

MK Diminta Kembalikan Fungsi KASN untuk Lakukan Pengawasan ASN

Redaksi
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Koalisi untuk Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengembalikan fungsi dan kewenangan Komisi ASN (KASN) dalam melakukan pengawasan, penerapan Sistem Merit, serta kode etik dan kode perilaku ASN.

Perkara yang teregister dengan Nomor Perkara 121/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Mereka menguji konstitusionalitas norma Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang- Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN.

Pada Pasal 26 ayat (2) huruf d mengatur ketentuan di mana Presiden mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada kementerian dan/atau lembaga untuk melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan penerapan Sistem Merit. Sedangkan pada Pasal 70 ayat (3) menyatakan bahwa KASN tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan ditetapkannya peraturan pelaksanaan dari UU 20 Tahun 2023.

Dalam dalil permohonannya, para Pemohon menilai bahwa upaya untuk mewujudkan manajemen dan tata kelola ASN yang profesional dan bekerja dalam sistem merit memerlukan adanya kontrol serta pengawasan guna memastikan tidak adanya praktik like dan dislike dalam manajemen ASN.

Kuasa hukum Pemohon, Dudi Agung Trisna mengatakan, agar menghindari praktik tersebut dan membangun mekanisme promosi, demosi serta sanksi yang tidak didasarkan atas prinsip meritokrasi adalah dengan menghadirkan lembaga negara yang independen, yakni KASN.

“Bahwa politik hukum di dalam UU a quo yang kemudian menghadirkan ketentuan di dalam Pasal 70 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2023, telah membuat eksistensi lembaga Komisi ASN, yang berfungsi untuk mewujudkan pengawasan manajemen ASN, akan segera lumpuh dan hilang begitu peraturan pelaksanaan UU tersebut disahkan,” katanya dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat, 20/9/2024.

Menurut Dudi, adanya klausul dari Pasal 70 ayat 3 telah memberikan makna bahwa KASN hanya akan melaksanakan tugas dan fungsi sampai peraturan pelaksanaan UU 20/2023 ditetapkan. Apalagi, masa jabatan komisioner KASN akan berakhir di tahun ini dan seluruh ASN dalam lembaga tersebut akan dipindahkan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Hal itu, kata Dudi, juga sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2024 tentang Badan Kepegawaian Negara diterbitkan pada 23 Agustus 2024, di mana dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa tugas untuk melakukan pengawasan penerapan sistem merit dilakukan oleh BKN.

Selain itu, kata Dudi, Pasal 26 ayat (2) huruf d juga menegaskan bahwa pengawasan sistem merit tidak lagi menjadi rujukan dalam ketentuan Pasal 70 ayat (3).

“Ketentuan tersebut akan berakibat pada matinya fungsi pengawasan untuk mewujudkan ASN yang profesional dan bekerja dalam sistem merit, jelas telah menimbulkan pertentangan dengan prinsip kepastian hukum, dan akan berakibat luas di mana akan kembalinya manajemen ASN kepada situasi tanpa pengawasan, dan hilangnya sistem merit dalam manajemen ASN,” lanjutnya.

Dudi menyebut bahwa situasi ini bakal membuat mundurnya politik hukum UU ASN yang tidak lagi sesuai dengan semangat awal, untuk mewujudkan ASN yang profesional, berintegritas dan akuntabel.

Untuk itu, dalam provisinya para Pemohon meminta kepada MK untuk memerintahkan KAS tetap melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya untuk melakukan pengawasan penerapan sistem merit, asas, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN sampai Putusan MK diucapkan.

Sedangkan dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar materi muatan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada kementerian dan/atau lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang: …. d. pengawasan penerapan Sistem Merit, asas, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN“.

Selain itu, menyatakan materi muatan Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Komisi Aparatur Sipil Negara tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf d“.

Netralitas ASN dalam Pemilu dan Pilkada

Salah satu faktor yang menjamin terselenggaranya pilkada yang demokrasi dan berkualitas ialah jaminan netralitas dari ASN. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebut bahwa masalah netralitas aparatur negara termasuk dalam tiga besar di Indeks Kerawanan Pemilu (IKP).

Pada Pemilu 2024 kemarin, Bawaslu meregistrasi sebanyak 1.023 dugaan pelanggaran pemilu yang berasal dari laporan dan temuan. Dari seribu kasus tersebut, sebanyak 479 dinyatakan sebagai pelanggaran. Di antaranya, terdapat 69 pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh kepala daerah dan pelanggaran kode etik aparatur sipil negara.

Selain itu, KASN menerima sebanyak 417 laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN. Berdasarkan laporan tersebut, 197 ASN di antaranya terbukti melanggar dan mendapatkan rekomendasi KASN agar dijatuhi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) masing-masing instansi.

“Ketika Bawaslu tidak dapat secara fokus melakukan pemantauan hingga penindakan pelanggaran yang dilakukan oleh ASN, maka pelanggaran seperti yang terjadi pada Pemilu Serentak 2024 potensial kembali terulang dan makin masif pada Pilkada Serentak 2024,” tutur Dudi.

Apalagi, kata Dudi, ASN sangat berpotensi dijadikan sebagai “martir” dalam setiap pertarungan pemilihan kepala daerah, karena dianggap mampu merepresentasikan calon kepala daerah incumbent ataupun lebih mudah “untuk diarahkan” kepada satu pasangan calon kepala daerah dengan iming-iming jabatan atau keuntungan lainnya.

Menurut Dudi, pelanggaran netralitas ASN yang terungkap dalam pilkada dan pemilu sebelumnya dapat memberikan peringatan dini terhadap potensi risiko yang mungkin terjadi dalam Pilkada serentak Tahun 2024 mendatang.

Bahwa pelanggaran netralitas ASN yang terungkap dalam pilkada dan pemilu sebelumnya dapat memberikan peringatan dini terhadap potensi risiko yang mungkin terjadi dalam Pilkada 2024 November mendatang.

Apalagi, dalam konteks jadwal yang relatif dekat antara pemilu dan pilkada perhatian yang lebih besar harus diberikan terhadap penguatan pengawasan dan penegakan aturan terkait netralitas ASN. Langkah untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta integritas ASN dalam kedua proses tersebut menjadi krusial untuk menjaga keadilan dan kredibilitas dalam pelaksanaan pemilihan umum.

“Hal ini memberikan gambaran bahwa permasalahan netralitas ASN adalah permasalahan sistem dan berkelanjutan, yang membutuhkan tindakan preventif yang lebih kuat untuk mengatasi permasalahan tersebut,” tutur Dudi.

Nasihat Hakim

Dalam sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan dibantu dengan Daniel Yusmic P. Foekh dan Ridwan Mansyur, mereka memberikan nasihat kepada para Pemohon agar dimasukkan dalam sidang perbaikan yang akan digelar dua minggu setelahnya.

Dalam sesi pemberian nasihat, Guntur Hamzah menyebut bahwa para Pemohon perlu mengelaborasi original intent dari persoalan dan norma yang diajukan permohonan.

Selain itu, Guntur juga meminta agar Pemohon membandingkan UU 20/23 dengan UU sebelum perubahan, di mana KASN masih melakukan pengawasan sistem merit kepada aparatur sipil negara sebelum dilimpahkan ke BKN.

“Masalahnya perlu dijelaskan kenapa konsep baru ini apakah perlu analisis SWOT-nya? Tepat yang mana itu dilakukan karena ini sama-sama dua organisasi. Agar MK dapat gambaran kebutuhan kembali ke KASN sangat urgent, kalau tidak KASN maka sistem merit tidak akan jalan. Jadi, ini perlu dieksplor lagi,” kata Guntur.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihatnya menyebutkan, legal standing para Pemohon perlu mempertegas pasal dan ayat dalam anggaran dasar organisasi yang berhak mengajukan permohonan ini di dalam dan luar pengadilan.

Sedangkan Hakim Konstitusi Ridwan dalam catatan terhadap permohonan ini meminta Pemohon untuk menambahkan kerugian konstitusional dari lima parameter yang ada dalam ketentuan kerugian konstitusional, sehingga dapat dirujuk satu demi satu serta perbandingan dengan negara lain.

“Apakah mungkin negara lain memiliki lembaga sejenis dan kemudian tidak ada tapi dihidupkan kembali, ini dikuatkan lagi pada dalil kerugian konstitusionalitas para Pemohon,” tutur Ridwan.*

Laporan Syahrul Baihaqi