FORUM KEADILAN – Pemerintah dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) kembali membahas Revisi Undang-Undang (UU) tentang perubahan keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sempat tertunda.
Rapat dilangsungkan di akhir masa reses anggota dewan dan dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) Adies Kadir serta Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Santoso mengonfirmasi akan adanya revisi UU MK. Namun, ia tidak merinci kapan RUU ini akan disahkan.
“Ya akan ada revisi UU MK,” ucap Santoso saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 13/5/2024.
Meski begitu, Santoso tidak menjawab poin pembahasan apa yang dibahas pada rapat kerja bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
“(Hari ini) pembahasan tingkat I RUU MK,” tulisnya singkat.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi III Fraksi PDI-P Johan Budi Sapto Pribowo mengaku tidak tahu akan adanya pembahasan tersebut. Apalagi, kata dia, DPR masih di tengah masa reses dan baru akan kembali bekerja pada esok hari, Selasa, 14/5.
“Baru besok (pembukaan masa sidang). Coba besok saya tanyakan,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan.
Sementara itu, Anggota Komisi III lainnya Ahmad Baidowi dan Mulfachri Harahap tidak membalas pesan dan mengangkat panggilan yang dikirimkan Forum Keadilan.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto mengatakan bahwa pemerintah menerima hasil pembahasan pengambilan keputusan tingkat I dalam Revisi UU tentang perubahan Keempat UU 24/2003 tentang MK di tingkat Panitia Kerja (Panja).
“Pemerintah sepakat untuk dapat meneruskan pembicaraan dan pengambilan keputusan tingkat II terhadap RUU MK di Sidang Paripurna DPR-RI,” ucap Hadi dalam keterangan tertulis, Senin, 13/5.
Hadi menjelaskan beberapa poin penting dari perubahan telah dibahas secara bersama-sama. Hal tersebut, kata dia, dapat semakin meneguhkan peran dan fungsi MK sebagai penjaga konstitusi negara.
“Pemerintah berharap kerja sama yang telah terjalin dengan baik antara DPR RI dan Pemerintah dapat terus berlangsung, untuk terus mengawal tegaknya negara kesatuan yang kita cintai bersama,” katanya.
Untuk diketahui, revisi UU MK urung terlaksana pada akhir Desember 2023 karena adanya penolakan dari masyarakat sipil di mana poin-poin perubahan merugikan Hakim Konstitusi yang tengah menjabat.
Adapun beberapa poin penting dalam RUU MK di antaranya ialah aturan batas usia minimal Hakim Konstitusi, evaluasi hakim MK. Selain itu, ada pula terkait unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK (MKMK) dan juga dihapusnya ketentuan peralihan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Perubahan Tak Boleh Rugikan Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa perubahan dalam Revisi UU MK tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Hal tersebut tertuang pada putusan perkara Nomor 81/PUU-XXI/2023 atas pengujian Pasal 15 ayat 2 huruf d tentang syarat usia minimal hakim MK.
Meski permohonan tersebut ditolak, Mahkamah dalam pertimbangannya menyebut penentuan batasan usia bagi jabatan tertentu, baik usia minimal maupun usia maksimal, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) atau wilayah pembentuk Undang-Undang (pemerintah dan DPR) untuk menentukan.
Namun, Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan hukum terbuka bukan kebijakan yang dapat diartikan seluas ataupun sebebas pembuat kebijakan, karena kebijakan hukum terbuka tetap dapat dibatasi.
Menurut Mahkamah, kebijakan hukum terbuka harus memuat beberapa syarat, di antaranya tidak bertentangan dengan UUD 1945, bukan ketidakadilan yang intolerable, tidak dilakukan secara sewenang-wenang, tidak menyalahgunakan kewenangan, tidak melanggar moralitas dan rasionalitas, dan tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
Oleh karenanya, apabila pemerintah dan DPR akan merevisi UU MK, Mahkamah menegaskan batasan yang harus dijadikan pedoman agar nantinya perubahan UU tidak boleh merugikan subjek yang menjadi ‘adresat’ dari substansi perubahan Undang-Undang dimaksud.
“Khusus berkenaan dengan UU MK, terutama berkenaan dengan persyaratan usia, perubahan tersebut tidak boleh merugikan Hakim Konstitusi yang sedang menjabat,” ucap Saldi Isra saat membacakan pertimbangan.
Ini berarti perubahan harus diberlakukan bagi Hakim Konstitusi yang diangkat setelah Undang-Undang tersebut diubah. Jika hal tersebut tidak berlaku demikian, maka akan berdampak kepada hakim yang sedang menjabat.
“Perubahan yang sering kali dilakukan, termasuk dengan mengubah syarat usia dan masa jabatan, jelas hal tersebut akan mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman dimaksud,” pungkasnya.*
Laporan Novia Suhari, Syahrul Baihaqi