Kamis, 19 Juni 2025
Menu

Saksi Sebut PT Timah Reklamasi 400 Hektare Lahan Bekas Tambang

Redaksi
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022 menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat (Jakpus), Senin, 2/9/2024 | Merinda Faradianti/Forum Keadilan
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022 menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat (Jakpus), Senin, 2/9/2024 | Merinda Faradianti/Forum Keadilan
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Kepala Bidang Pengawasan dan Pengangkutan Tambang PT Timah Hafid Rinaldi Susanto mengatakan, PT Timah melakukan 400 hektare reklamasi lahan bekas tambang per tahun.

Meski tidak merata, kegiatan reklamasi tersebut dilakukan di setiap kabupaten di Bangka Belitung dan dilakukan di lahan darat serta laut.

Secara kumulatif realisasi reklamasi darat yang dilakukan PT Timah sejak tahun 2015-2023 telah mencapai 3.183 hektare yang dilaksanakan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Reklamasi darat yang dilakukan PT Timah Tbk mengacu pada rencana reklamasi perusahaan dengan melakukan revegetasi atau penanaman dan reklamasi dalam bentuk lainnya.

“400 hektare per tahun, pembagian itu tidak rata di setiap kabupaten,” kata Hafid di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 2/9/2024.

Saat ditanya apakah ada teguran terkait kerusakan lingkungan akibat penambangan timah itu, Hafid menyebut tidak mengetahui secara pasti.

“Yang saya ingat belum ada teguran terkait propare penilaian masa waktu. Terkait teguran yang sifatnya melanggar tidak ada,” sebutnya.

Hafid menyebut, ada beberapa kendala PT Timah dalam melaksanakan reklamasi sesuai dengan target perusahaan. Salah satunya, karena penambangan timah tanpa izin di lokasi yang akan direklamasi.

Diketahui, di kasus korupsi tersebut, negara merugi sekitar Rp371 triliun dengan kerugian ini berasal dari beberapa faktor, antara lain kemahalan harga sewa smelter, penjualan bijih timah kepada mitra, serta kerugian keuangan negara dan kerusakan lingkungan.*

Laporan Merinda Faradianti