FORUM KEADILAN – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Buruh dan serikat pekerja lainnya. Dalam permohonannya, terdapat 71 petitum yang dimohonkan pemohon agar Mahkamah membatalkan pasal-pasal terkait sektor ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Mereka juga memohon agar Mahkamah menghidupkan kembali norma yang sudah dicabut.
Agenda sidang kali ini ialah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra serta empat majelis hakim lainnya, yaitu Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Guntur Hamzah dan Arsul Sani.
Ahli Pemohon Amalinda Savirani mengatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja justru membuat kelompok pekerja dalam posisi yang semakin rentan. Dalam persidangan, ia memaparkan tiga hal yang membuat buruh dalam posisi rentan, di antaranya ialah pengurangan kesejahteraan buruh, mekanisme penentuan upah dan formula penentuan upah.
Amalinda menjelaskan bahwa dalam regulasi UU Cipta Kerja, terdapat beberapa hal yang mengurangi kesejahteraan buruh, seperti penentuan upah minimum, penghapusan upah minimum sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), pemotongan uang pesangon.
Selain hal tersebut, terdapat pula aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tanpa batas dan beberapa pengurangan kesejahteraan buruh, seperti aturan cuti, uang penggantian hak dan uang penghargaan masa kerja.
“Yang paling mendasar ialah upah minimum, penghapusan UMSK, mekanisme UMK secara fakultatif, pemotongan dan uang pesangon. Itu bentuk-bentuk konkret lain bagaimana kerentanan pekerja dihasilkan dari UU ini,” kata Amalinda di persidangan, Senin, 8/7/2024.
Amalinda juga menyoroti mekanisme penentuan upah yang tidak lagi melibatkan Dewan Pengupahan atau Forum Tripartite. Peniadaan forum ini, kata dia, justru meminimalkan peran Serikat Pekerja.
“Padahal peran Serikat Pekerja sangat sentral dalam upaya untuk mendorong kesejahteraan kelompok pekerja melalui peran aktif secara kolektif dalam forum tripartite. Justru forum yang sangat demokratis ini tidak lagi ada dalam mekanisme penentuan upah,” paparnya.
Di sisi lain, Amalinda juga mengkritik formula penentuan upah yang menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan ‘indeks tertentu’. Ia justru mempertanyakan frasa ‘indeks tertentu’ dan siapa yang menentukan indeks tersebut.
Amalinda merekomendasikan agar frasa tersebut dihapus agar memberikan kepastian hak pekerja dalam konteks penentuan upah.
Amalinda juga menyoroti UU Cipta Kerja yang membuka keran kemudahan dan keberpihakan ke warga negara asing, dan tidak memihak ke tenaga kerja Indonesia.*
Laporan Syahrul Baihaqi