Sidang Gugatan UU Cipta Kerja, Ahli Pemohon Paparkan Deindustrialisasi di Indonesia

Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan
Gedung Mahkamah Konstitusi | Syahrul Baihaqi/Forum Keadilan

FORUM KEADILAN – Sidang gugatan uji materil terhadap Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja kembali berlanjut di Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.

Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Buruh dan serikat pekerja lainnya yang melakukan uji Materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Bacaan Lainnya

Agenda persidangan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan empat majelis hakim lainnya, yaitu Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Guntur Hamzah dan Arsul Sani.

Ahli yang dihadirkan Pemohon, Amalinda Savirani, memaparkan bahwa gugatan terhadap UU Cipta Kerja untuk kluster perburuhan harus melihat konteks besar makro ekonomi Indonesia saat ini.

Amalinda mengatakan bahwa sumbangan sektor industri terhadap pendapatan negara terus berkurang di tiap tahunnya yang menjadi dari ciri deindustrialisasi. Amalinda menegaskan, persoalan kelas pekerja tidak bisa dilepaskan dari konteks deindustrialisasi.

Adapun deindustrialisasi sendiri adalah menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh.

“Apakah Indonesia mengalami deindustrialisasi atau belum, tapi paling penting adalah sumbangan sektor industri terhadap pendapatan negara itu terus berkurang,” ucap Amalinda dalam persidangan, Senin, 8/7/2024.

Penurunan penerimaan dari sektor industri sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan data BPS, sumbangan dari sektor industri atau manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin menurun dari tahun ke tahun.

BPS mencatat, hingga akhir 2022 hanya sebesar 18,34 persen dibandingkan pada kuartal I-2014 sebesar 21,26 persen. Sumbangan dari sektor industri pernah mencapai puncaknya terjadi pada 1997 dengan mencapai angka 26 persen.

Meskipun terjadi perdebatan terkait konteks deindustrialisasi di kalangan para ekonom, Amalinda menekankan bahwa tekanan terhadap sektor manufaktur ditandai dengan berkurangnya sumbangan dari sektor industri ke pendapatan negara.

“Gugatan UU Cipta Kerja dari kluster perburuhan harus melihat konteks besar makro ekonomi Indonesia saat ini,” katanya.

Selain masalah deindustrialisasi, Amalinda juga menyoroti tren demografi di mana populasi Indonesia mengalami peningkatan. Dengan begitu, hal ini juga berpengaruh terhadap populasi tenaga kerja muda yang memasuki lapangan pekerjaan.

Kalau negara tidak berhati-hati dalam mengatur UU Cipta Kerja di sektor ketenagakerjaan, hal ini dapat berdampak terhadap masa depan generasi muda di Indonesia.

“Penentuan UU Omnibus Law Cipta Kerja tanpa sensitif terhadap kelompok ini sangat menghasilkan kelas yang sangat rentan terkait hak mereka sebagai pekerja,” katanya.

Menurut Amalinda, dua konteks tersebut mulai dari problem deindustrialisasi dan tren demografi menjadi dua hal penting yang harus menjadi pertimbangan majelis hakim untuk melakukan perbaikan terhadap UU tersebut.

Dalam memberikan keterangan keahliannya, Amalinda juga menggarisbawahi terkait konsep industrial citizenship (kewargaan industrial) dan fleksibilitas pasar tenaga kerja.*

Laporan Syahrul Baihaqi

Pos terkait