Setelah 1 Dekade SJSN

Peneliti SigmaPhi Research Hardy R Hermawan. I Ist
Peneliti SigmaPhi Research Hardy R Hermawan. I Ist

Oleh Hardy R Hermawan

Wartawan Ekonomi/Peneliti SigmaPhi Research

Bacaan Lainnya

 

FORUM KEADILAN – Sudah lebih dari satu dekade Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terselenggara di Indonesia. Ini bermula ketika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan beroperasi pada 1 Januari 2014 sebagai transformasi dari PT Askes (Persero).

Lalu, di awal Juli ini, kita merayakan ulang tahun kesembilan BPJS Ketenagakerjaan, yang juga perubahan dari PT Jamsostek (Persero). BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi pada 1 Juli 2015. Belakangan, BPJS Ketenagakerjaan memakai “trademark” BP Jamsostek, mirip nama lamanya ketika masih BUMN.

Terselenggaranya SJSN melalui BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek didasari oleh UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Namun, UU BPJS tidak berdiri sendiri. Sebelumnya sudah terbit UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Dalam UU SJSN ditegaskan, setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup layak dan mampu meningkatkan martabatnya menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

Untuk melaksanakan SJSN, dibentuklah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang akan memastikan SJSN terselenggara efektif dan efisien. Tentu banyak manfaat yang diarasakan rakyat dari hadirnya SJSN.

Sejauh ini, BPJS Kesehatan menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mencakup 267,3 juta peserta, per Desember 2023. Itu setara 95,7 persen populasi nasional. Banyak inovasi dijalankan BPJS Kesehatan, termasuk digitalisasi sejumlah program seperti PESIAR, ICare JKN, Mobile-JKN, Program REHAB, dan program berbasis digital lainnya.

BP Jamsostek menjalankan lima program yakni Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Peserta BP Jamsostek naik dari 19,2 juta pada tahun 2015 menjadi 41,5 juta pada 2023. Kebanyakan, peserta BP Jamsostek masih pekerja formal. BP Jamsostek masih perlu memperluas cakupan kepada pekerja informal, pekerja rentan, pegawai Non-ASN, dan pekerja migran.

Secara umum, setelah 1 dekade, penyelenggaraan SJSN di Indonesia memang masih perlu diperkuat lagi. Upaya ke arah itu sebenarnya bisa dimulai dengan sinkronisasi data BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek. Lewat sinkronisasi data, kepesertaan BP Jamsostek bisa ditarik menjadi data BPJS Kesehatan. pun sebaliknya.  Sinkronisasi bisa memberi keuntungan bagi peserta karena memungkinkan seluruh anggota keluarganya terlindungi, bukan hanya sang kepala keluarga,

Singkatnya, sinkronisasi data membuat setiap orang bisa terlindungi oleh semua program jaminan sosial. Termasuk pekerja informal, kaum miskin, kaum terpinggirkan yang kerap luput dari amatan. Terlebih lagi, sinergi pendataan bisa memengaruhi kualitas penyelenggara jaminan sosial sehingga bisa mendorong kinerja keuangannya pula.

Peluang optimalisasi manfaat dari sinkronisasi data antar-BPJS itu tentu sulit diinisiasi sendiri oleh BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek. Di sinilah, semestinya DJSN mengambil peran. Sesuai UU SJSN, DJSN merupakan lembaga yang memastikan operasional SJSN dan berfungsi merumuskan kebijakan serta menyelaraskan penyelenggaraan SJSN.

Tidak itu saja, DJSN mestinya bisa menjalankan kajian dan penelitian, sesuai pasal 7 ayat 3a UU SJSN. Ayat itu mencakup standar operasional, prosedur BPJS, besaran iuran dan manfaat, pentahapan kepesertaan dan perluasan program, pemenuhan hak peserta, dan kewajiban BPJS.

Pasal 7 ayat 3b UU SJSN juga menyatakan fungsi DJSN dalam kebijakan investasi, berupa penempatan dana dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, optimalisasi hasil, keamanan dana, dan transparansi.  Lalu di pasal 7 ayat 4 UU SJSN, dijelaskan bahwa DJSN berwenang melakukan monitoring dan evaluasi untuk menjamin terselenggaranya program jaminan sosial, termasuk tingkat kesehatan keuangan BPJS.

Pasal 39 ayat 3 UU No. 24/2011 tentang BPJS menyatakan, DJSN berperan sebagai lembaga pengawas BPJS bersama dengan OJK dan BPK. Purwoko (2012) menjelaskan, peranan DJSN dalam pengawasan ini bersifat non-financial auditor atau operating auditor. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan sebagai financial auditor.

Operating audit oleh DJSN meliputi perluasan kepesertaan, mekanisme koleksi iuran, desain manfaat/paket manfaat, prosedur penyelesaian klaim jaminan, dan ketentuan investasi dana jaminan sosial.  Hasil audit DJSN akan memberikan informasi yang berharga kepada BPK dan bisa melengkapi hasil akhir audit finansial.

Sayangnya, Marmen (2024) menyatakan, pasal ini menimbulkan ragam interpretasi. Bahkan ada yang menyatakan bahwa DJSN tidak termasuk lembaga pengawas eksternal yang independen. Ini lantas menimbulkan pertanyaan, seperti apa sebanarnya sosok DJSN? Apakah merupakan lembaga pengawas eksternal yang independen? Atau DJSN merupakan sebuah lembaga pengaturan dan pengawasan (regulatory and supervisory body)?

Perbedaan interpretasi ini akhirnya mengecilkan peran DJSN. Ditambah lagi, muncul beragam regulasi lain yang cenderumg mengabaikan DJSN. Kompleksitas peraturan terkait jaminan sosial nasional kian melemahkan fungsi DJSN.  Ditambah lagi, Ansyori (2018), menyatakan, DJSN tidak dapat berfungsi secara efektif karena status kelembagaannya kurang kuat.

 

Hidup Segan Mati Tak Mau

DJSN akhirnya seperti kerakap tumbuh di batu. Hidup segan mati tak mau. Fungsinya dalam mensinkronisasi dan mensinergikan penyelenggaraan SJSN jauh panggang dari api. Bahkan regulasi tidak memungkinkan DJSN mengawasi dua penyelenggara jaminan sosial lain, di luar BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek, yakni PT Taspen dan PT Asabri.  Status DJSN sebagai Lembaga Non-Struktural (LNS) membuat dewan ini tidak bisa menyusun rancangan peraturan perundang-undangan setingkat PP dan Perpres.

Alhasil, tanpa conductor yang berwibawa, fungsi SJSN selama 10 tahun ini belum bisa dikatakan optimal. Alih-alih dana di BPJS bisa mendukung pembangunan dan kemandirian ekonomi, menjadi jaring pengaman negara di saat tekanan ekonomi memberat, yang kerap terdengar justru kabar tak sedap.

Kejaksaan Agung sempat mengusut dugaan korupsi di BP Jamsostek. Tiga tahun penyidikan dilakukan sebelum terbit surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada Desember 2022. Di BPJS Kesehatan, kasus korupsi tersiar dari sejumlah kantornya di daerah. Di PT Taspen, terjadi kasus dugaan korupsi investasi fiktif senilai Rp1 Triliun. Di PT Asabri, kasus korupsi pengelolaan dana pensiun pada 2012-2019 diduga menyebabkan kerugian negara senilai Rp22,8 triliun.

Pelayanan kepada peserta juga kerap masih menimbulkan keluhan. Penerapan iuran tunggal dalam KRIS BPJS Kesehatan ditengarai membuat orang miskin harus membayar lebih banyak dan peserta golongan 1 dan 2 membayar lebih sedikit. Lalu, pada Juni 2021, Ombudsman RI menyatakan masyarakat masih mengeluhkan pelayanan BP Jamsostek, terutama dalam aspek kepesertaan dan pemberian hak jaminan sosial atau klaim manfaat.

Jadi, tidak bisa tidak, upaya pembenahan SJSN di Indonesia mutlak diperlukaan. Perlu ada revisi undang-undang yang bisa memastikan SJSN berjalan secara sinkron, sinergis, dan memberi sebanyak-banyaknya manfaat bagi rakyat. Pengelolaan keuangannya harus bersih, sehat, dan optimal.

Peran, fungsi, dan kewenangan DJSN perlu diperkuat. DJSN harus memiliki kewenangan dalam mengawasi dan mengorkestrasi operasional SJSN serta mengusulkan rancangan peraturan perundang-undangan setingkat peraturan pemerintah dan/atau peraturan presiden.

DJSN layak diberi kewenangan memberikan sanksi dalam pengawasan BPJS. Mirip OJK di ranah jasa keuangan. Dengan kewenangan yang lebih kuat, DJSN dapat berperan efektif dalam mendorong terselenggaranya SJSN berkualitas, bagi pesertanya dan bagi perekonomian negara.*

Pos terkait