FORUM KEADILAN – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron akan menjalani sidang etik di Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait dugaan melanggar kode etik dengan penyalahgunaan pengaruh di balik mutasi pegawai Kementan berinisial ADM.
Diketahui, perkara tersebut akan mulai disidangkan pada Kamis, 2/5/2024.
Sebelumnya, Nurul Ghufron terlibat konflik internal dengan anggota Dewas KPK Albertina Ho. Nurul Ghufron melaporkan Albertina ke Dewas KPK atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Ia juga menggugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta.
Berdasarkan laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Ghufron mendaftarkan gugatan pada Rabu, 24 April 2024 dan gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara: 142/G/TF/2024/PTUN.JKT.
“Klasifikasi perkara: Tindakan administrasi pemerintah/tindakan faktual,” demikian dilansir dari laman SIPP PTUN Jakarta, Kamis (25/4).
Diinformasikan bahwa SIPP PTUN Jakarta belum dapat memperlihatkan petitum lengkap gugatan Ghufron dan Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan gugatan tersebut berkaitan dengan penanganan laporan yang sudah kedaluwarsa oleh Dewas KPK.
Meresponi hal tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa tindakan yang diambil oleh Nurul Ghufron dikarenakan dirinya frustasi menghadapi perkara dugaan pelanggaran kode etiknya.
“ICW melihat tindak tanduk saudara Nurul Ghufron yang melaporkan Anggota Dewan Pengawas serta menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara menunjukkan bahwa dirinya sedang frustasi menghadapi dugaan pelanggaran kode etik di Dewan Pengawas,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, Selasa, 30/4/2024.
Kurnia juga menilai bahwa semestinya Ghufron yang merupakan aparat penegak hukum, terutama sebagai Pimpinan KPK, berani untuk menjalani persidangan dan tidak mencari-cari kesalahan pihak lain yang tidak relevan.
Oleh karena itu, ICW mendesak agar Dewas tidak terpengaruh dengan segala argumentasi pembenaran yang disampaikan oleh Ghufron dan tetap melanjutkan proses persidangan.
Jika terbukti melanggar, ICW meminta kepada Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat dengan jenis hukuman yaitu berupa “Diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Pimpinan”.
Ia menjelaskan bahwa hal tersebut diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) huruf b Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021. Bila terbukti, Kurnia menyebut perbuatan Ghufron itu benar-benar tidak bisa dipandang sebelah mata.
Ghufron, lanjut Kurnia, menunjukkan sudah menyalahgunakan kewenangan, bahkan memperdagangkan pengaruh, untuk membantu pihak tertentu di Kementan.
Selain konteks menyalahgunakan kewenangan atau memperdagangkan pengaruh, ia juga menekankan bahwa Dewas juga harus mempersoalkan adanya indikasi komunikasi yang dilakukan oleh Ghufron dengan pihak Kementan dari dugaan peristiwa ini.
“Permasalahannya, kapan komunikasi itu dilakukan? Apakah komunikasi keduanya terbangun saat Kementerian Pertanian sedang diselidiki oleh KPK dalam konteks perkara yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo?” jelasnya.
“Bila benar, maka saudara Ghufron diduga keras turut melanggar Pasal 36 huruf UU KPK di ranah pidana dan Pasal 4 ayat (2) huruf a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 di ranah etik,” tambahnya.
Kurnia menambahkan, apabila nantinya terbukti bahkan dalam kerangka hukum internasional dengan merujuk dalam konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Convention Against Corruption), perbuatan Ghufron tersebut adalah memperdagangkan pengaruh (trading in influence) ini tergolong sebagai tindak pidana korupsi.*