FORUM KEADILAN – Ketua Tim Pembela Demokrasi dan Keadilan (TPDK) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengaku mendapat angin segar (wind of change) atas tiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, independensi Jaksa Agung, dan parliamentary threshold (ambang batas parlemen).
Mulanya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui revisi Undang-Undang (UU) Pilkada sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) usulan DPR. Dalam RUU tersebut salah satunya mengusulkan adanya percepatan Pilkada 2024 agar dimajukan menjadi September 2024 atau saat era kepimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Padahal, seharusnya pelaksanaan Pilkada 2024 direncanakan berlangsung pada November 2024. Hal itu, sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam pasal 201 Ayat (8) UU tentang Pilkada.
Namun, MK melarang usulan percepatan Pilkada 2024 diubah. Dalam putusannya, MK menegaskan Pilkada 2024 tetap dilaksanakan sebagaimana amanat UU Pilkada. Putusan MK itu tertuang dalam pertimbangan putusan perkara nomor 12/PUU-XXII/2024.
Putusan MK berikutnya mengenai independensi Jaksa Agung. Pada sidang pleno, Kamis, 29 Februari 2024, MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI. Permohonan tersebut diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar dengan Perkara nomor 6/PUU-XXII/2024.
Dalam amar putusannya, MK mengubah norma pada Pasal 20 dengan menambah syarat lain, yakni yang diangkat menjadi jaksa agung bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat.
“Untuk dapat diangkat menjadi jaksa agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai jaksa agung,” bunyi pasal tersebut.
Adapun putusan MK yang terakhir, mengenai parliamentary threshold. Gugatan uji materi yang diajukan Perludem terkait ambang batas parlemen sebesar 4 persen yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu dikabulkan sebagian oleh MK. Putusan itu tertuang dalam perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 29 Februari 2024.
MK dalam amar putusannya, menghapus ambang batas parlemen sebesar 4 persen dan meminta pemerintah serta DPR untuk merevisi UU tersebut sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029 mendatang.
“Dengan putusan-putusan MK yang saya sebutkan tadi, saya harus mengatakan ada angin segar, ada wind of change gitu dari putusan-putusan MK tersebut,” kata Todung saat konferensi pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 5/3/2024.
Angin segar yang dimaksud Todung merupakan kembalinya MK kepada jati dirinya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), bukan lagi sebagai lembaga yang menjadi kepanjangan tangan kekuasaan.
“Ini penting, kenapa? Karena Mahkamah Konstitusi pasca putusan MK nomor 90 yang memberikan karpet merah kepada Gibran untuk menjadi cawapres pada waktu itu, mendapat sorotan tajam sekali dari publik yang mempertanyakan MK, apakah MK itu masih tetap sebagai penjaga konstitusi atau tidak,” ujarnya.
Todung menilai, putusan MK yang melarang pelaksanaan Pilkada serentak diubah merupakan putusan yang bijak. Sebab, kata dia, jika Pilkada serentak dilaksanakan pada era pemerintah Jokowi, masyarakat khawatir akan adanya cawe-cawe politik oleh kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 2024.
“Kalau melihat pengalaman yang kita baru saja lewati sekarang ini, karena cawe-cawe untuk memenangkan pasangan calon (paslon) tertentu itu terjadi dan banyak dikhawatirkan. Dan kalau masyarakat khawatir bahwa cawe-cawe itu akan terjadi dalam proses pemilihan gubernur, proses pemilihan bupati menurut saya itu sah saja, kalau ada khawatiran semacam itu,” tuturnya.
Oleh sebab itu, kata Todung, perdebatan yang selama ini dilakukan oleh anggota DPR terkait putusan MK tersebut harus dihentikan, karena putusan MK bersifat final dan mengikat.
Sementara soal independensi jaksa agung, Ketua Deputi tim hukum TPN Ganjar-Mahfud itu, menganggap putusan MK sangat penting. Lagi-lagi soal dugaan kepanjangan tangan kekuasaan yang menjadi alasannya. Karena bagi dia, jaksa agung semestinya bersikap independen.
“Dia harus independen terhadap semuanya termasuk terhadap presiden, termasuk terhadap menteri, dia bukan, dalam artian fungsi bagian dari bawahan. Dia harus melakukan fungsinya secara independen,” terangnya.
Todung juga mengapresiasi putusan MK yang menghapus parliamentary threshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Sekalipun, kata dia, putusan tersebut masih perlu perdebatan mengenai parameter yang dipakai untuk menetapkan zero threshold (tidak ada ambang batas).
“Sebab, pasti ada banyak pro dan kontra ya, apakah zero threshold ini akan menambah jumlah partai politik (di DPR) yang akan menimbulkan ya instabilitas misalnya, atau mengganggu jalannya pemerintahan,” ucapnya.
Todung mengungkapkan bahwa pada pemilu pertama kali di Indonesia yang digelar pada masa reformasi 1999, ada sekitar 48 partai yang menjadi peserta pemilu. saat ini di Indonesia juga memiliki banyak partai, sekalipun tak sebanyak pada pemilu pertama. Namun menurut Todung, situasi seperti itu tidak mudah dalam melaksanakan pemilu.
“Bayangkan kalau partai politiknya lebih dari 48, nah itu kan tidak mudah. Dalam negara yang (menganut) presidensil seperti Indonesia, memiliki jumlah partai yang banyak itu tentu menimbulkan persoalan tersendiri,” jelasnya.
Persoalannya itu, kata Todung, masyarakat akan kesusahan saat membuka kertas suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan banyak partai politik. Selain itu, lanjut dia, juga perlu ada kajian mendalam mengenai biaya dan manfaatnya (cost and benefit).
“Satu hal yang perlu mendapat kajian yang cukup mendalam, cukup jernih ya kalau kita melihat cost and benefit dari itu semua,” pungkasnya.
Laporan M. Hafid