Banteng yang Tak Loyal Diduga Jadi Sebab Kekalahan Ganjar di Lumbung PDIP

FORUM KEADILAN – Hasil perolehan suara sementara pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD berbanding terbalik dengan partai pengusungnya.
Jebloknya perolehan suara Ganjar-Mahfud dinilai sebagai tanda merosotnya tingkat loyalitas pemilih dari PDIP.
Hasil penghitungan suara di situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperlihatkan Ganjar-Mahfud berada di urutan terakhir dalam kontestasi Pilpres 2024. Dari 70,72 persen data yang masuk, pasangan itu hanya memperoleh suara 17,31 persen.
Sedangkan dua kandidat lainnya, yaitu pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) memperoleh suara 24,35 persen dan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendominasi dengan 58,34 persen suara.
Hitung cepat (quick count) yang dilakukan sejumlah lembaga survei juga memperlihatkan hal serupa. Quick count yang dilakukan Litbang Kompas misalnya, mereka mencatat bahwa dari 99,85 persen suara yang masuk, Ganjar-Mahfud hanya memperoleh 16,30 persen suara. Lebih kecil dari pasangan AMIN dengan 25,25 persen suara dan Prabowo-Gibran dengan 58.45 persen suara.
Tetapi di Pileg, PDIP jadi peringkat pertama. Litbang Kompas mencatat, dari 99,35 persen suara yang masuk, partai besutan Megawati Soekarnoputri ini memperoleh 16,34 persen suara, disusul oleh Golkar dengan perolehan 14.62 persen suara, dan Gerindra 13.50 persen suara.
Begitu juga perolehan suara sementara di KPU. Dari 56,23 persen suara yang masuk, PDIP unggul dengan 15,71 persen suara.
Kalah di Kandang Banteng
Begitu drastis perbedaan suara Ganjar-Mahfud dengan PDIP sebagai partai pengusungnya. Jika dicermati dari sebaran suaranya, terdapat fenomena bahwa Ganjar-Mahfud dikalahkan oleh Prabowo-Gibran di beberapa wilayah yang seharusnya jadi lumbung suara PDIP.
Pertama di Jawa Tengah (Jateng). Dalam pemilu sebelumnya, PDIP selalu menang di wilayah ini. Diketahui, Ganjar juga merupakan eks Gubernur Jateng.
Namun hasil penghitungan suara sementara di situs KPU, Dari 86,23 persen suara yang masuk, Ganjar-Mahfud hanya mendapat 6.106.275 suara. Kalah dari Prabowo-Gibran dengan 9.350.304 suara.
Di Bali juga sama. Basis Partai Banteng itu diungguli oleh Prabowo-Gibran. Dari 65,54 persen suara yang masuk, Prabowo-Gibran mendapat 518.604 suara, sementara Ganjar-Mahfud 448.192 suara.
Kemudian di Sumatra Utara. Sebagaimana diketahui, wilayah ini merupakan lumbung suara terbesar PDIP di Pulau Sumatra. Tetapi dalam pemilu kali ini, Ganjar-Mahfud tertinggal oleh dua kandidat lainnya di sana. Dari 55,83 persen suara yang masuk ke KPU, Ganjar-Mahfud hanya memperoleh 356.541 suara, sedangkan AMIN 828.819 suara, dan Prabowo-Gibran 1.726.658 suara.
Menariknya, meskipun Ganjar-Mahfud kalah, tetapi di ketiga wilayah itu PDIP masih lebih unggul dari partai lainnya.
Kekalahan Ganjar-Mahfud di kandang Banteng tentu menjadi pertanyaan. Politikus PDIP Aria Bima pun tak menampik bahwa pihaknya mempertanyakan hal serupa.
“Ya masalah kan? Kenapa sekarang suara Pileg lebih tinggi daripada suara Pilpres. Kenapa? Nah itu pertanyaan yang harus dijawab oleh semua kader, termasuk saya yang ada di Solo, karena itu instruksi partai yang bisa membuat saya tidak dilantik,” kata Aria di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta Pusat, Jumat 16/2/2024.
Aria mengatakan, kini seluruh kader PDIP wajib menjawab anomali tersebut. Ia juga mengaku, telah berulang kali menyampaikan kritik dan masukan terhadap penyelenggara pemilu supaya melakukan investigasi terhadap anomali itu.
Banteng yang Tak Loyal
Terkait kekalahan Ganjar-Mahfud di kandang Banteng, Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu mengungkapkan pandangannya. Menurutnya, ada beberapa pemicu yang mungkin jadi penyebab terjadinya perbedaan suara PDIP dengan kandidat presiden yang mereka usung.
Yohan menyebut, salah satu pemicunya adalah merosotnya tingkat loyalitas pemilih PDIP. Ia menjelaskan, berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Kompas setelah pencoblosan 14 Februari lalu, tingkat loyalitas pemilih PDIP berada di angka 47,2 persen.
“Angka ini relatif menurun jika dibandingkan dengan rata-rata loyalitas yang terbaca dalam survei-survei sebelum pemilu, yakni berada di atas angka 70 persen,” kata Yohan kepada Forum Keadilan, Sabtu 17/2.
Menurut Yohan, penurunan loyalitas pemilih PDIP itu bukan tanpa alasan. Itu terjadi karena renggangnya hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan PDIP.
“Ini tentu tidak lepas dari fakta lapangan, di mana terjadi perubahan konfigurasi politik di Pilpres 2024, yakni pecah kongsinya Presiden Jokowi yang merupakan kader PDIP, dengan kebijakan dan langkah politik PDIP,” ungkapnya.
Bagi Yohan, retaknya hubungan antara Jokowi dan PDIP juga berdampak buruk terhadap daya elektoral PDIP. Alhasil, masyarakat yang memilih PDIP pada pemilu sebelumnya, bergeser memilih partai lain.
Yohan menilai, rendahnya perolehan suara Ganjar-Mahfud di lumbung PDIP merupakan tanda bahwa pasangan tersebut tak sepenuhnya diterima oleh para pemilih PDIP sendiri.
Kemudian, ada juga pengaruh Jokowi (Jokowi effect) yang sedikit banyak memecah dukungan pemilih PDIP. Sementara di sisi lain, faktor Jokowi ini justru menjadi hal baik bagi Prabowo-Gibran.
“Seperti halnya temuan dari survei pasca-pencoblosan, yang menyatakan bahwa faktor Jokowi terbukti turut menjadi penentu unggulnya pasangan Prabowo-Gibran yang terekam dari hasil hitung cepat Litbang Kompas,” terangnya.
Peneliti Utama Politika Research and Consulting (PRC) Ian Suherlan juga sependapat. Ia menilai, retaknya hubungan PDIP dengan Jokowi memang sangat berpengaruh terhadap perolehan suara Ganjar-Mahfud, khususnya di kandang Banteng.
Menurut Ian, banyak pemilih yang bukan PDIP, marah karena perlakuan para petinggi partai terhadap Jokowi.
Misalnya pernyataan Megawati yang bilang, ‘Jokowi kalau tidak ada PDIP, duh kasihan deh’. Pernyataan ini, kata Ian, membuat publik non-PDIP turut marah, sehingga simpati terhadap PDIP dan Megawati menurun.
Bahkan PRC mencatat, sebanyak 15 persen kader PDIP di Jateng melabuhkan pilihannya kepada Prabowo-Gibran. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh PDIP sudah terjadi dua fraksi, yaitu kubu Jokowi dan Megawati.
“Dampak sentimen negatif terhadap Jokowi tak hanya loyalitas pemilih PDIP terbelah, tetapi juga membuat Megawati kurang berpengaruh dalam konteks publik Indonesia yang sangat luas. Jadi, upaya apa pun yang dilakukan untuk memperluas jangkauan pemilih Ganjar sangat sulit. Itulah mengapa suara Ganjar paling rendah,” kata Ian kepada Forum Keadilan, Sabtu 17/2.
Terlebih, tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi amat tinggi. Sebagaimana temuan survei yang dilakukan Indometer, tingkat kepercayaan masyarakt terhadap kinerja pemerintahan Jokowi mencapai 80 persen di pertengahan tahun 2023. Hal ini membuat Gibran sebagai anak Jokowi cenderung diterima oleh masyarakat.
“Artinya, tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi dan diterimanya Gibran sebagai calon wakil presiden, serta endorsemen Jokowi, membuat publik lebih melirik Jokowi dan Gibran dibanding Ganjar,” jelasnya.
Selain faktor hubungan antara Jokowi dan PDIP, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan suara Ganjar-Mahfud jeblok di kandang PDIP. Salah satunya, pasangan ini tidak punya arah politik yang jelas, apakah akan melanjutkan program Jokowi atau menolaknya sebagaimana yang dilakukan oleh pasangan AMIN.
“Ganjar dan PDIP tampaknya kehilangan daya tarik bagi pemilih karena posisinya yang kurang jelas. Ganjar juga tidak bisa dengan tegas mengkritik pemerintah berhubung beberapa kader PDIP masih berada di dalam Kabinet Jokowi,” ucapnya.
Ditambah lagi, partai pengusung Ganjar selain PDIP, yaitu Hanura, Perindo, dan PPP terbilang kecil. Jadi, mereka bersandar kepada besaran suara PDIP.
“Demikian pula dengan pasangannya, Mahfud MD. Tak cukup mengangkat suara pasangan nomor 3, karena Mahfud hanya menarik bagi kalangan elit akademisi yang persentase sedikit. Sementara, bagi kalangan grassroot kurang menarik. Belum lagi suara kaum Nahdliyin telah terbagi ke Anies, di mana Cak Imin sebagai cawapresnya,” tuturnya.
Selanjutnya faktor pemberian bantuan sosial (bansos) yang dilakukan pemerintah. Menurut Ian, adanya pembagian bansos saat menjelang pemilu itu menambah loyalitas pemilih terhadap pihak yang memberikannya. Bahkan, kata Ian, penerima bansos ini telah berkontribusi besar terhadap perolehan suara kepada pasangan yang didukung Jokowi.
“Dengan demikian, antara pemberian bansos dan dukungan Jokowi terhadap pasangan nomor 2, membuat suara pasangan itu sangat tinggi, dan Ganjar tak mendapatkan efeknya sedikit pun,” imbuhnya.
Untuk di wilayah Jateng, Ian melihat bahwa kekalahan Ganjar-Mahfud bukan karena isu Wadas yang sempat menyita perhatian publik. Kasus itu, menurut Ian sudah terbilang lama dan masyarakat di Desa Wadas dan Purworejo sudah menyetujui penambangan batu andesit itu.
“Dari sisi suara, data survei kami di Jawa Tengah, khususnya di Purworejo, kami menemukan bahwa suara Ganjar tidak terlalu merosot, bahkan sama dengan suara Prabowo,” katanya.
Justru, lanjut Ian, penolakan terhadap Tim Nasional (Timnas) Israel dalam perhelatan Piala Dunia U-20 yang dilakukan oleh para politisi PDIP beberapa waktu lalu yang berpengaruh.
Sikap yang akhirnya membuat Federasi Asosiasi Sepakbola Internasional (FIFA) memutuskan Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 itu membuat masyarakat kecewa. Sebanyak 57 persen publik menilai penolakan tersebut tidak tepat.
“Publik dengan jelas tidak akan memilih calon presiden yang didukung oleh elite yang menolak penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia. Penolakan ini juga yang diduga sebagai salah satu biang retaknya hubungan PDIP dan Ganjar dengan Jokowi,” tukasnya.*
Laporan M. Hafid