FORUM KEADILAN – Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida mengungkapkan, banyak faktor yang melatarbelakangi merosotnya suara pasangan calon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD di kandang PDIP pada Pemilu 2024 ini.
Diketahui, suara PDIP maupun capres-cawapres yang mereka usung kerap unggul di sejumlah daerah pada pemilu-pemilu sebelumnya. Daerah yang dimaksud termasuk Jawa Tengah dan Bali.
Namun, pada Pemilu 2024 ini, hanya suara PDIP yang berhasil bertahan di posisi teratas, sementara suara capres-cawapres dari PDIP, Ganjar-Mahfud, dikalahkan oleh calon lainnya, yakni Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) maupun real count KPU (hingga saat ini, suara yang sudah masuk mencapai 70 persen).
Ida setuju, faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi salah satunya karena dugaan adanya pengkondisian dari tingkat kepala desa (kades) hingga RT untuk memenangkan paslon tertentu dalam Pemilu 2024.
“Bisa jadi karena faktor ini juga, apalagi masyarakat kita, khususnya di pedesaan, juga kultur di wilayah tersebut, masih berkecenderungan paternalistik dan kolektif,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin, 19/2/2024.
Faktor lainnya mengenai strategi 03 untuk merebut suara Generasi Z yang mendominasi dalam Pemilu 2024 ini. Ida menilai sosok Alam Ganjar memegang peran yang sangat penting untuk merebut suara generasinya.
“Keterlibatan Alam Ganjar dalam kampanye mengindikasikan bahwa pemilih muda menjadi kelompok strategis,” ucapnya.
Hal ini terlihat dari strategi 03 dalam memenangkan suara Gen Z yang berpatokan pada media sosial (medsos). Namun, menurut Ida, strategi tersebut tampaknya masih belum maksimal.
“Yang jelas di era digital ini, salah satu kekuatannya ada di strategi medsos. Gen Z mungkin tidak terlalu tertarik dan peduli pada program-program, sebab itu calon yang ‘populer/viral’ di media, khususnya di medsos yang lebih dikenal,” katanya.
Berbanding terbalik dengan 03, paslon 02 dinilai Ida sukses mengadaptasi kemenangan pemilu Presiden Filipina dalam menggaet suara muda.
“Ada goyang gemoy dan lagu Oke Gas, tampaknya lebih dikenal masyarakat. Strategi seperti ini lah yang membuat Bongbong Marcos di Philipina menang, mungkin terinspirasi dari sana,” jelasnya.
Sementara, Sosiolog dari Universitas Nasional, Nia Elvina, menilai, merosotnya suara Ganjar di kandang Banteng akibat dinamika politik Indonesia dimasyarakat saat ini cepat berubah.
Nia memandang, faktor utama penyebab jebloknya suara Ganjar-Mahfud karena publik sudah tidak memiliki kepercayaan lagi kepada pemimpin yang memiliki latar belakang politik kader PDIP.
“Masyarakat menilai, selama 10 tahun ini Pemimpin dari partai PDIP, belum mampu mengakomodir kepentingan wong cilik. Selama ini harga kebutuhan mendasar cenderung naik, termasuk listrik dan BBM,” katanya kepada Forum Keadilan.
Hal ini selaras dengan fakta sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih bertumpu pada kebutuhan mendasar atau pokok dalam menentukan pilihan politik.
“Ketika mereka menilai selama 10 tahun ini di bawah Pemimpin dari PDIP, belum mampu memenuhi kebutuhan pokok (harga terjangkau), mereka akan menentukan Pemimpin yang bukan dari PDIP lagi, saya kira amat rasional ya,” ujarnya.
Jika Pemimpin dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya maka basis pemilih tentunya akan loyal. Namun, lanjut Nia, jika pemimpin dianggap atau dinilai tidak mampu, mereka tidak akan loyal lagi kepada PDIP.
Di sisi lain, Nia berpendapat, konflik Wadas di Jawa Tengah, dan penolakan menjadi Tuan Rumah untuk Piala Dunia U-20, saat Ganjar menjadi Gubernur Jawa Tengah tidak terlalu memengaruhi keputusan masyarakat kecil dalam menentukan suara.
“Saya kira lebih kepada ketidakmampuan Pemimpin dari PDIP sebelumnya memenuhi kepentingan masyarakat, jadi lebih kepada pertimbangan ekonomi, atau kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Sama halnya dengan kepentingan masyarakat kecil, Nia menjelaskan Generasi Z juga menentukan suara dengan mempertimbangkan kemajuan ekonomi.
“Generasi Z juga demikian, karena mereka yang paling banyak mengalami pengangguran. Jadi mereka yang amat mengalami persoalan ekonomi. Mereka jadi amat sadar sulitnya mencari pekerjaan,” jelasnya.
Walaupun sosok Gibran Rakabuming Raka digambarkan sebagai keterwakilan generasi muda, Nia merasa Gen Z tidak melihat hal tersebut. Akan tetapi, melihat bagaimana Prabowo Subianto sebagai sosok baru yang bisa memimpin Indonesia.
“Masyarakat menaruh harapan pada Prabowo, Kalau sosok Gibran saya kira masyarakat menilai masih ‘keturunan’ PDIP. Saya kira kepada sosok Prabowo itu sendiri sebagai Calon Presiden, dan norma umum yang berlaku dalam masyarakat ketika memilih Pemimpin yang dilihat adalah calon pemimpinnya bukan wakilnya,” tegasnya.*
Laporan Novia Suhari