Ibu Bapak Guru, Susahmu Dijual Tiap Pemilu

Ilustrasi ketiga capres Pemilu 2024. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan
Ilustrasi ketiga capres Pemilu 2024. I Rahmad Fadjar Ghiffari/Forum Keadilan

FORUM KEADILANKesejahteraan guru honorer menjadi janji prioritas di setiap pemilu. Nyatanya, janji hanya janji. Sampai saat ini, mereka hanya jadi barang dagangan para politisi.

Di pinggiran Ibu Kota, seorang guru honorer bercerita soal kecemasannya akan hari tua. Ia melihat, tak ada kekuatan hukum yang bisa menjamin masa depan dia dan keluarganya.

Bacaan Lainnya

WA inisialnya. Ia seorang guru honorer di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Kota Bekasi. Sudah 12 tahun ia mengabdi dan mencerdaskan generasi penerus bangsa, tetapi masih begitu-begitu saja.

Rasa cemas akan kehilangan pekerjaan, terus membayangi Ibu dari tiga orang anak ini. Ia khawatir suatu saat posisinya digantikan oleh guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“Guru honorer itu tidak ada kekuatan hukum di sekolah. Jadi sewaktu-waktu, bisa saja dipecat tanpa pertimbangan apa-apa. Kemarin banyak guru PPPK yang masuk ke sekolah saya. Akhirnya, jam yang biasanya saya dapat itu 24 jam dalam sebulan, sekarang jadi berkurang. Bahkan ada teman-teman yang akhirnya dipecat atau diberhentikan karena tidak mendapatkan jam mengajar,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Jumat 2/2/2024.

WA mengungkapkan, dirinya sempat diberikan pilihan untuk berhenti mengajar atau tetap mengajar ketika ada guru PNS yang masuk. Jika ia ingin tetap mengajar tersebut, ia harus mengambil mata pelajaran yang tidak dikuasainya.

Apa daya? Guru honorer dipandang sebelah mata. Alhasil, WA terpaksa mengambil pilihan kedua dan mulai mempelajari materi yang hendak ia ajarkan.

“Kalau guru PNS atau guru PPPK masuk, mau tidak mau tersingkir. Dikeluarkan begitu saja. Jadi, cuma dibilang mohon maaf Ibu atau Bapak tidak bisa gabung lagi di sini, karena kekurangan jam. Bahkan, saya yang notabene-nya lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia, tidak ada jam di sekolah kelas Bahasa Indonesia, akhirnya saya mengajar sejarah,” imbuhnya.

Masalah guru honorer bukan hanya soal jaminan, gaji mereka juga jauh dari angan. Drastis bedanya jika dibandingkan dengan guru PPPK dan PNS.

Dalam sebulan WA mengajar, pendapatannya hanya Rp2,4 juta. Tetapi, ada tunjangan lain. Kata dia, kalau ada tugas tambahan seperti menjadi wali kelas (welas), ada bayaran sebesar Rp400 ribu. Untuk piket, ada tambahan Rp220 ribu dalam sebulan.

Meskipun ditambah, tentunya masih tidak cukup bagi WA.  Ia sadar kebutuhan akan seorang ibu rumah tangga yang hidup di kota besar.

“Bayaran guru honorer hitungannya per jam. Tetapi, 24 jam itu untuk satu bulan. Jadi, per jamnya sekitar Rp93 ribu dikalikan 24 jam sekitar Rp2,4 juta itu selama sebulan. Kalau misalnya dapat tugas tambahan walas dibayarkan Rp400 ribu selama satu bulan dan ada piket di bayar Rp220 ribu,” katanya.

WA berharap, 2024 ini akan menjadi tahun yang baik bagi para guru honorer.

“Saya berharap, karena katanya di tahun 2024 ini terakhir guru honorer ada di Indonesia. Setelah 2024 saya berharap sekali diangkat. Tentu tanpa syarat yang berat. Ujian tidak apa, tetapi masuk akal,” ujarnya.

WA juga berpesan kepada presiden terpilih nantinya untuk memperhatikan kesejahteraan guru honorer baik di sekolah negeri maupun swasta. Sebab, banyak sekali guru honorer yang sudah lama mengabdi, tetapi kalah dengan guru baru lulus PNS atau PPPK.

“Jadi tolong diperhatikan juga. Walaupun dia tidak PNS, tetapi dia sudah mengabdi. Jadi siapapun nanti presidennya, tolong diperhatikan saja,” tandasnya.

Lebih miris lagi kisah guru honorer di Sekolah Menengah Pertama (SMP)  Kabupaten Bandung Barat. Ia bercerita, rata-tata guru honorer di daerahnya hanya menerima honor Rp3 ribu-Rp5 ribu per jam. Ia sendiri, per bulan hanya dibayar Rp75 ribu-Rp300 ribu.

“Saya kurang paham di sekolah negeri bagaimana, tetapi saya yang mengajar di swasta hanya menerima honor kurang lebih Rp75 ribu-Rp300 ribu per bulan. Tergantung dari jumlah jam mengajar di sekolah,” katanya kepada Forum Keadilan, Minggu 4/2.

Beda dengan WA yang mengajar di sekolah negeri, di tempat guru honorer yang tak mau disebut namanya ini, tidak ada tambahan apapun terkait honor mengajar.

“Enggak ada tambahan apapun terkait honor. Lebih banyak jadi seperti sapi perah. Kok bisa? Ya karena banyak di sekolah swasta yang pihak yayasannya jadi oknum. Banyak dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diduga diselewengkan di luar kepentingan,” ujarnya.

Jangankan honor guru, kata dia, dana siswa saja diembat dengan dalih biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) bulanan atau biaya uji kompetensi yang masih jauh jangka waktu pelaksanaannya.

“Jadi, benar-benar jauh dari kata sejahtera. Kalau guru di kampung seperti saya, untuk menyentuh angka honor Rp300 ribu per bulan, berarti harus kerja jungkir balik. Salto dulu jam mengajarnya,” ucapnya.

Ia juga mengungkapkan, dirinya juga kesal lantaran honor yang sedikit itu, pembayarannya sering ditunda. Bahkan, penundaan ini sampai dua bulan.

Ia membeberkan, ada beberapa rekan guru yang bertahan menjadi tenaga pendidik honorer hanya untuk mendapatkan sertifikasi. Tetapi, proses mendapatkan sertifikasi ini pun kerap dipersulit oleh oknum yayasan.

Untuk itu dirinya meminta pemerintah atau dinas pendidikan terkait untuk terjun langsung ke sekolah swasta. Bahkan kalau perlu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diikutsertakan.

Please, turunin KPK ke sekolah swasta. Cek semua alur dana BOS, biar pada sadar dan kapok,” ungkapnya.

 

Barang Dagangan Pemilu

Terkait kesejahteraan guru, dalam Debat Kelima Pilpres 2024 kemarin, calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan mengaku, jika terpilih ia akan mempercepat sertifikasi guru dan mengangkat 700.000 honorer menjadi guru PPPK.

Anies mengatakan, tenaga pendidik merupakan kunci untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Untuk itu, dirinya juga menjanjikan beasiswa bagi anak guru, dosen, dan tenaga pendidik.

“Jangan sampai mereka mendidik ratusan anak, tapi anaknya tidak pernah bisa menyelesaikan pendidikan sampai tuntas,” kata Anies dalam Debat Kelima Pilpres 2024 di Jakarta Convetion Center (JCC), Jakarta Pusat, Minggu 4/2.

Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto punya gagasan berbeda dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga pengajar.

Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia harus di-audit. Sebab, banyak masalah kebocoran alokasi dana pendidikan yang di turunkan dari pusat ke tingkat kabupaten.

“Banyak sekali kebocoran dalam alokasi dana yang di turunkan sampai ke tingkat kabupaten dan sebagainya. Ini menyangkut memang masalah mental dan budaya banyak pejabat kita,” ujar Prabowo.

Prabowo menilai, semua pihak harus mengoreksi diri dan melakukan audit agar sistem pendidikan Indonesia menjadi lebih baik.

Sementara capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo menyebut, jika pendidikan mau maju, maka negara harus hadir memberikan fasilitas. Ia juga bercerita soal banyaknya guru digaji dengan upah minimal, yaitu sebesar Rp300 ribu.

“Maka pada saat itu saya sampaikan, kasih gaji sesuai UMP (upah minimum provinsi) yang ada di Jawa Tengah, UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) yang ada di Jawa Tengah, tambah 10 persen. Baru kemudian, kita dorong proses sertifikasi dan peningkatan kapasitas,” kata Ganjar.

Ganjar mengaku, dirinya memiliki aplikasi bernama Bimbingan Teknis Online dan Pendampingan (Bolpen). Aplikasi ini diklaim dapat memberikan bantuan kepada guru dengan memanfaatkan teknologi untuk memberikan pengajaran yang bermutu. Jadi, guru dapat bekerja dengan baik dan dibebaskan dari persoalan administrasi yang menjeratnya.

Sama halnya ketiga capres, Pengamat Pendidikan dari Universitas Indonesia Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah memandang bahwa kesejahteraan tenaga pendidik sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Guru honorer yang sejahtera secara finansial akan lebih fokus dalam mendidik siswa dan siswinya.

“Sangat berpengaruh, karena akan menjadikan mereka lebih fokus mengajar dan mengembangkan diri,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Senin 5/2.

Sebenarnya, kesejahteraan guru sendiri telah diatur di UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pasal 14 huruf a aturan itu menyebut, dalam melaksanakan tugas, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Kemudian di huruf b, tertulis bahwa guru punya hak mendapat promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.

Jejen menjelaskan, aturan tersebut memang menjamin akan kesejahteraan guru. Tetapi masalahnya, pemerintah enggan melaksanakan mandat aturan tersebut.

“Masalahnya pemerintah tidak punya good will pada pelaksanaan UU,” tegasnya.

Selain pemerintah, penulis buku Analisis Kebijakan Pendidikan ini juga mendorong agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Komisi X untuk lebih memerhatikan nasib guru honorer.

“Perlunya check and balance legislatif atas kinerja eksekutif agar komitmen pada perbaikan pendidikan, termasuk guru,” imbuhnya.

Dia juga mendorong agar para pemerintah dan pihak terkait untuk berpihak kepada guru serta membuat kebijakan gaji minimal bagi para guru.

Sedangkan soal janji untuk menyejahterakan guru honorer, kata Jajang, ketiga capres punya gagasan bagus. Mereka berkomitmen untuk itu.

Namun perlu digarisbawahi, janji ini bukan yang pertama kali.

Di Pemilu 2014 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah berjanji menyelesaikan semua permasalahan guru honorer seandainya terpilih. Bahkan, ia sempat menandatangani kontrak politik untuk meningkatkan kesejahteraan para honorer dalam Piagam Ki Hajar Dewantara.

Janji tersebut sempat ditagih oleh Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) di Pemilu 2019.

Didi Suprijadi selaku salah satu Ketua PB PGRI saat itu menyebut, ada tiga janji yang disebut Jokowi di piagam Ki Hajar Dewantara. Janji itu disebut dengan ‘Trilayak’, meliputi layak status, layak upah, dan layak jaminan sosial.

Tetapi nyatanya, hingga kini masih ada ribuan guru honorer yang menunggu jaminan masa depan akan karier mulia yang mereka pilih.

Kalau dibilang nasib guru honorer tak ubahnya barang dagangan di setiap pemilu, Jejen pun setuju.

“Betul. Mereka dijadikan barang dagangan saat kampanye tapi dilupakan setelah pemilu,” pungkasnya.

 

Tak Ada Biaya

Ketika dikonfirmasi terkait permasalahan ini, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mengungkapkan fakta di balik banyaknya guru honorer tak diangkat menjadi PNS hingga PPPK.

Dede menjelaskan, sebenarnya dalam tiga tahun belakangan, pemerintah telah mengangkat 600 ribu guru honorer untuk menjadi PPPK. Mungkin, kata dia, tersisa sekitar 350 ribu orang lagi.

Belum semua diangkat PPPK. Kata Dede, ini karena banyak daerah yang tidak siap untuk membiayai. Keuangan daerah tidak mencukupi.

Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Dede, perlu adanya kesepakatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

“Karena gajinya memang dari pusat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Tetapi untuk tunjangan kerja dan lain-lain, itu dari daerah,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 5/2.

Meski begitu, Dede mengungkapkan bahwa targetnya di 2024 ini, semua bisa diangkat menjadi PPPK. Totalnya mencapai 1 juta guru.

“Bahkan kemarin presiden membuka sekitar 2,3 juta lowongan bagi PPPK untuk menjadi ASN atau PPPK. Di mana 70 persennya adalah tenaga pendidik. Jadi, untuk guru dan tenaga kesehatan dan tenaga teknis, ini sebenarnya tinggal proses saja. Negara tinggal menyiapkan uangnya saja,” ujarnya.

Saat dikonfirmasi terkait sulitnya tes ujian bagi guru honorer yang ingin menjadi PPPK atau PNS, Dede membantah. Kata dia, ujiannya memang seperti itu.

“Ya memang ada yang seperti itu. Tetapi yang masuk juga sudah ratusan ribu. Jadi, kita harus lihat dulu. Memang ujian ini dibuka secara online, karena itu ada beberapa wilayah yang mungkin secara akses belum bisa memadai, atau secara perangkat juga tidak bisa,” jelasnya.

Dede mengaku, pihaknya telah meminta kepada Kementerian Pendidikan agar yang belum lolos tes diberi kesempatan untuk mengulang atau remedial.

Dede pun tahu bahwa rata-rata gaji guru honorer di Indonesia hanya Rp300-500 ribu per bulan. Ia menyebut, ada tiga cara untuk memperbaikinya.

Pertama, menaikkan mereka menjadi PPPK, jadi mereka mendapatkan honor sesuai dengan standarnya ASN.

Kedua, dengan memberikan mereka seperti insentif pengajaran. Misalnya dari Rp5 ribu per jam, dalam mengajar sebulan diberikan 40 jam. Dede mengaku, Komisi X tengah memperjuangkan intensif dari jam pengajaran itu.

Kemudian ketiga, pemerintah bisa tambahkan insentif dari dana BOS, sehingga mereka mendapatkan pendapatan yang layak.

Tetapi seperti yang sudah kita dengar sebelumnya, dana BOS sendiri diduga bermasalah.

Dede memandang, penggunaan dana BOS sudah diatur. Jadi, oknum di sekolah negeri harusnya tidak begitu leluasa memainkannya. Namun lain cerita kalau di sekolah swasta.

“Untuk swasta di daerah, itu memang banyak sekali. Jadi, yayasan ini bisa dikatakan hidupnya pas-pasan. Itu sebabnya ketika pengelolaan langsung oleh Ketua yayasan tanpa adanya komite sekolah, transparansi itu akan sulit sekali,” pungkasnya.* (Tim FORUM KEADILAN)

Pos terkait