FORUM KEADILAN – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari dan jajarannya melanggar kode etik terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) 2024.
DKPP memberikan sanksi peringatan keras kepada Hasyim Asy’ari dan enam Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holid.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua KPU dan jajarannya karena KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat batas usia capres-cawapres pada 16 Oktober 2023.
KPU seharusnya segera mengubah PKPU sebagai pedoman teknis pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024. Sebab, pada PKPU pertama syarat batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun dan belum ada embel-embel asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah sesuai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Artinya, meski pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua KPU RI dan jajarannya terkait penerimaan Gibran sebagai cawapres, namun keputusan DKPP tidak berpengaruh apa pun terhadap pencalonan.
Hal itu pun juga ditegaskan oleh Ketua DKPP Heddy Lugito usai rapat bersama Komisi II DPR di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 5/2.
“Ini murni putusan etik, nggak ada kaitannya dengan pencalonan. Nggak ada,” kata Heddy.
Berkaca pada peraturan yang ada pun, pencalonan Gibran memang tetap sah karena dilakukan usai keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang memperbolehkan kepala daerah atau mantan kepala daerah ikut serta dalam Pilpres 2024 meski di bawah 40 tahun, diputus pada 16 Oktober 2023.
Sementara, Gibran bersama capres Prabowo Subianto mendaftar ke KPU pada 25 Oktober 2023. Artinya, Gibran mendaftar sebagai cawapres usai Keputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.
Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara.
Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.
Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan.
Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Oleh karena itu yang terikat melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.
Dalam Putusan suara terbanyak, tidak hanya KPU ataupun pemerintah dan DPR yang terikat oleh Putusan MK, tetapi juga partai politik peserta Pemilu sejak putusan itu dibacakan.
Sebab putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu.
“Putusan MK kan lebih tinggi selevel UU, jadi walaupun belum dirubah (PKPU) tetap berlaku bagi KPU karena putusan MK juga mengikat seluruh rakyat Indonesia sebagai UU,” jelas Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada Forum Keadilan, Senin.