FORUM KEADILAN – Pertanian menjadi salah satu isu yang disorot oleh ketiga calon wakil presiden (cawapres) di Debat Keempat Pilpres 2024. Ketidakseriusan kandidat menjawab tantangan di sektor pertanian, akan berimplikasi pada kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional.
Di lapangan, petani dihadapkan pada sejumlah tantangan besar. Mulai dari meningkatnya angka petani gurem, sulitnya akses pupuk subsidi, hingga alih fungsi lahan produktivitas.
Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai, para pasangan calon (paslon) baik dalam Debat Pilpres ataupun dokumen visi-misi, menempatkan pertanian dan pangan pada posisi penting. Namun sungguh disayangkan, mereka masih melakukannya dengan pendekatan produksi.
“Kesejahteraan petani di tempatkan di ekor, bukan di kepala,” ucapnya saat ditemui Forum Keadilan, Senin 22/1/2024.
Menurutnya, pendekatan produksi yang dipaparkan ketiga cawapres tak jauh beda dengan apa yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Ada anggapan keliru bahwa kesejahteraan petani akan naik kala produksi meningkat.
Khudori menjelaskan, untuk meningkatkan kesejahteraan petani harus diiringi dengan penambahan lahan penguasaan petani gurem alias petani dengan lahan di bawah 0,5 hektare.
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023, Badan Pusat Statistik menyebut jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RUTP) gurem meningkat selama 10 tahun terakhir. Pada 2023, petani gurem berjumlah 16,89 juta rumah tangga. Angka ini naik sebanyak 18,54 persen dari 2013 yang hanya mencatat 14,25 juta petani gurem.
Apalagi, kata Khudori, penguasaan lahan petani gurem di Indonesia rata-rata hanya memiliki 0,2 hektare. Banyak dari mereka yang menggantungkan hidupnya dari sektor non-pertanian.
“Pendapatan dari sektor pertanian tidak menopang perekonomian mereka,” tuturnya.
Sensus Pertanian 2023 juga menyebutkan terjadi penurunan jumlah petani di Indonesia sepanjang satu dekade terakhir. Di mana pada tahun ini jumlah petani tercatat sebanyak 29,34 juta. Menurun dibanding tahun 2013 dengan 31 juta petani. Dari total petani tersebut, 19,49 juta orang merupakan petani yang berumur di atas 45 tahun.
Masalah lain yang dihadapi para petani, kata Khudori, ialah sulitnya mendapatkan pupuk bersubsidi. Selama ini, kata dia, pemberian pupuk dilakukan dengan skema tidak langsung yang justru menguntungkan industri.
Ia menekankan, pemerintah harus memprioritaskan perubahan skema subsidi pupuk dengan melakukan skema secara langsung ke petani. Sebab hingga hari ini, kemudahan tersebut jauh dari harapan. Kata Khudori, para petani di lapangan sulit mendapat akses subsidi pupuk, meskipun telah memberikan KTP ataupun Kartu Tani.
“Kita berharap subsidi pupuk bisa dinikmati dengan mudah, seperti ketika rakyat menikmati subsidi BBM,” ungkapnya.
Peneliti dan Kepala Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) Rina Mardiana juga menyoroti peningkatan jumlah petani gurem selama sepuluh tahun terakhir. Menurutnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi tren peningkatan petani gurem di Indonesia.
Misalnya pembagian lahan yang semakin kecil, urbanisasi dan ahli fungsi lahan, dan keterbatasan akses modal dan teknologi. Selain itu, kebijakan dan reforma agraria juga tidak berjalan dengan efektif, ditambah adanya perubahan iklim dan tantangan lingkungan.
Untuk mengatasi masalah ini, kata Rina, diperlukan pendekatan komprehensif yang mencakup reforma agraria yang efektif, dukungan teknologi dan modal bagi petani kecil, serta kebijakan yang mengakomodasi perubahan lingkungan dan urbanisasi.
“Penyediaan akses ke pasar dan peningkatan infrastruktur pertanian juga penting untuk membantu petani gurem meningkatkan produktivitas dan pendapatan mereka,” ujarnya kepada Forum Keadilan, Senin 22/1.
Rina menyebut, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi petani gurem, seperti mendukung keberlanjutan pertanian skala kecil melalui kebijakan pemerintah, serta memberikan akses pendidikan dan pelatihan bagi petani gurem dan masyarakat adat.
Solusi lainnya ialah memberikan akses lahan melalui reforma agraria. Menurutnya, program seperti penyewaan lahan komunal atau penggunaan lahan pemerintah, dapat menjadi solusi untuk pertanian bersama. Pemerintah juga bisa mengembangkan model pertanian yang berpusat pada komunitas.
“Petani gurem dan masyarakat adat dapat berkolaborasi, berbagi sumber daya, dan mendukung satu sama lain. Ini dapat mencakup pembentukan koperasi atau inisiatif berbasis komunitas lainnya,” paparnya.
Ironi Alih Fungsi Lahan
Mengutip data Auriga dalam Laporan Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023, selama periode 2015-2017 luas lahan sawah di Indonesia terus menyusut. Pada 2018-2019, luas sawah tersebut sempat melonjak, namun pada 2020 sampai 2022 angka tersebut kembali turun. Sampai 2022 luas lahan sawah Indonesia tersisa 9,88 juta hektare, rekor terendah sejak 2014.
Kepala Departemen Kampanye KPA Benni Wijaya menilai, pembangunan yang digenjot oleh Jokowi untuk membangun infrastruktur dan investasi kerap menyasar lahan-lahan produktif pertanian. Padahal, terdapat UU 41 Tahun 2009 yang mengatur tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pada Pasal 44 ayat 1 aturan tersebut, ditegaskan bahwa lahan yang sudah diterapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialih fungsi.
Meski begitu, peraturan yang sama juga menyebutkan bahwa alih fungsi lahan dapat dilakukan dengan beberapa syarat, seperti melakukan kajian kelayakan strategis, penyusunan rencana alih fungsi dan penggantian lahan yang dialihfungsikan.
“Sayangnya kebijakan percepatan proyek strategis nasional selama ini dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan warga terdampak secara substantif. Sehingga, dengan mudah tanah-tanah pertanian masyarakat beralih fungsi,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Senin 22/1.
Tak ayal kalau banyak kasus lumbung-lumbung pangan beralih fungsi menjadi bandara, tol, kawasan bisnis, perumahan dan investasi. Pembangunan yang mencaplok lahan produktif seperti itu, menurut Benni, merupakan sebuah ironi.
Laporan Tahunan KPA menyebut, terdapat beberapa kasus konflik agraria yang menyasar lahan pertanian produktif, seperti PLTU Cilacap, Bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo, New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Tol Yogyakarta-Bawen, Tol Yogyakarta-Cilacap, dan Tol Yogyakarta-Solo dan Bandara Kertajati.
Dalam kasus pembangunan Bandara Internasional Kertajati di Jawa Barat, terdapat 11 desa yang terdampak atas pembangunan ini. Selain itu, 7.500 hektare persawahan, kebun dan pemukiman dialihfungsikan menjadi landasan pacu Kertajati Aerocity dan kawasan pengembangan perniagaan.
Fenomena ini tidak hanya menyebabkan hilangnya jutaan lahan pertanian produktif, tapi juga berimplikasi pada produksi beras nasional yang semakin berkurang. Hal ini juga memaksa negara untuk melakukan impor.
Benni melihat, kebijakan impor pangan kian parah pasca-terbitnya UU Cipta Kerja. Ia menjelaskan, sebelumnya kebijakan impor hanya dapat dilakukan ketika stok pangan nasional tidak memadai. Namun, melalui UU Cipta Kerja, kebijakan tersebut berubah.
“Kebijakan tersebut diubah. Di mana pemerintah bisa melakukan impor kapan saja, meskipun di tengah panen raya,” pungkasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi