FORUM KEADILAN – Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman membantah pernyataan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 1 Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dan cawapres nomor urut 3 Mahfud MD yang menyebut proyek lumbung pangan alias food estate gagal.
Amran menegaskan, food estate ini bukan proyek instan, sehingga membutuhkan proses. Menurutnya, food estate sedang dikerjakan di beberapa daerah dengan berjalan baik dan sesuai target.
“Food estate ini bukan proyek instan, butuh proses. Kenyataannya kita memiliki 10 juta hektare yang sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Kami sekarang menggarap itu, butuh proses, butuh teknologi agar menjadi lahan produktif,” katanya dalam keterangan resmi, dikutip, Selasa, 23/1/2024.
Amran mencontohkan food estate di Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah, seluas 907 hektar yang telah panen komoditas hortikultura.
Selain itu, Amran juga membeberkan food estate di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah sukses panen jagung dengan luas area mencapai 500 hektare.
“Food estate tersebut sudah berhasil panen. Food estate Gunung Mas juga sudah panen jagung seluas 10 hektare dan singkong seluas tiga hektare. Kita pantau terus lahan tersebut,” ujar.
Sebelumnya, Cak Imin dan Mahfud mengkritik program food estate era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam debat Pilpres keempat, Minggu, 21/1. Program food estate saat ini berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang kini juga merupakan calon presiden (capres) nomor urut 1.
“Di sisi lain kita prihatin pengadaan pangan nasional melalui food estate. Food estate mengabaikan petani kita merugikan masyarakat adat kita. Hasilkan konflik agraria bahkan merusak lingkungan kita. Ini harus dihentikan,” kata Cak Imin.
Sementara, Mahfud menyebut food estate adalah program gagal yang bikin rugi negara.
“Jangan seperti food estate yang gagal dan merusak lingkungan, yang benar saja, rugi dong kita?” katanya.
Proyek food estate ialah salah satu kebijakan pemerintah yang dirancang dengan konsep pengembangan pangan secara terintegrasi dan menjadi bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 yang diinisiasi oleh Jokowi.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, implementasi pengembangan food estate telah dimulai dengan pembangunan di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 2020. Rencananya, proyek ini akan terus dikembangkan hingga 2024.
Selain ketiga wilayah tersebut, food estate juga tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa food estate gagal.
Walhi Nilai Food Estate Gagal
Manajer Kampanye Hutan Walhi Uli Arta Siagian mengatakan bahwa proyek food estate tidak pernah berhasil dalam sejarah Indonesia.
Mulai dari era Presiden Soeharto soal program gambut 1 juta hektar pada tahun 1995, berlanjut ke era SBY dengan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke, sampai Program Lumbung Pangan Jokowi.
“Negara kita itu tidak pernah belajar dari kesalahan yang sama,” ucapnya kepada Forum Keadilan, Jumat, 18/08/2023.
Menurut Uli, salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah penanaman benih banyak dilakukan di tanah bekas lahan gambut. Padahal, tidak semua lahan gambut bisa ditanami. Inilah yang menyebabkan rentannya terjadi kegagalan.
Selain itu, Uli juga menyebut bahwa penyerahan food estate kepada korporasi tidak tepat karena tidak memiliki pemahaman dan pengalaman untuk mengolah eks lahan gambut.
“Yang punya pengetahuan itu adalah masyarakat, masyarakat adat. Mereka punya pengetahuan dan tradisi lokal untuk mengolah lahan gambut,” tuturnya.
Uli justru mempertanyakan mengapa masyarakat yang memiliki pengalaman tidak diletakkan sebagai aktor untuk menjaga kedaulatan pangan, malah hanya sebagai objek yang tanahnya diambil untuk proyek konsesi tanah dari proses pembangunan pangan skala besar.
Di sisi lain, Walhi juga mengkritik terkait konsep ketahanan pangan yang dilakukan pemerintah.
Menurut Uli, kedaulatan pangan adalah program yang tepat karena menghormati cara-cara tradisional dan menunjukkan ciri khas peradaban wilayah tersebut.
“Sedangkan ketahanan pangan tidak mengurusi kedaulatan masyarakat, bagaimana tanah diolah. Yang penting pangannya ada dan tidak mau tahu gimana cara mendapatkannya dan siapa yang memproduksi,” ujarnya.
“Karena ini basis lahan skala besar dan yang mengelola lahan itu korporasi dan itu memberikan karpet merah untuk mereka. Padahal sebenarnya yang menyuplai pangan kita sekarang dari tangan-tangan petani,” tutupnya.*