FORUM KEADILAN – Proyek food estate yang digarap pemerintah tengah menjadi sorotan. Proyek tersebut dinilai tidak sesuai dengan standar pertanian.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menjelaskan proyek food estate bukanlah lumbung pangan pertama kali di Indonesia. Proyek ini ada hampir di setiap rezim pemerintahan dan selalu gagal.
“Monukultur dalam satu komunitas dikembangkan sejak zaman Pak Harto pada tahun 70an. Sangat fenomenal kala itu. Sejuta lahan di wilayah Kalimantan Tengah,tetapi memang perencanaannya kurang bagus dan bisa dibilang gagal,” ujar Khudori kepada Forum Keadilan, Jum’at, 18/8/2023.
Program serupa juga pernah dilakukan pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Pokoknya dari presiden ke presiden yang lain, catatan keberhasilannya sangat kecil. Termasuk di era kepemimpinan Pak Joko Widodo (Jokowi),” imbuhnya.
Namun, pada dasarnya tidak semua proyek lumbung pangan berakhir gagal. Proyek lumbung pangan yang menumpang di lahan pertanian yang pernah berhasil.
“Ada beberapa food estate menumpang dari usaha yang sudah jadi. Itu di beberapa wilayah di Jawa. Seperti Wonosobo, Gresik itu sebetulnya wilayah yang sudah jadi,” lanjutnya.
Sedangkan proyek lumbung pangan yang membuka lahan baru cenderung gagal. Kecuali yang kesuburan tanahnya berada di tingkat tertentu.
Sementara, kata Khudori, butuh waktu yang cukup lama untuk menyuburkan tanah sampai ke tingkat tertentu.
“Jadi mempersiapkan ekosistem sawah yang statik membutuhkan 3 sampai dengan 4 tahun. Apalagi proyek food estate ini lahannya bukaan baru dan kesuburannya lebih rendah. Butuh waktu untuk hasil yang optimal,” jelasnya.
Selain itu, untuk memproses lahan bukaan baru juga butuh teknologi. Hasil produksinya pun tidak sama seperti pertanian di Pulau Jawa.
Paling bisa hasil optimalnya hanya 3/4 dari pertanian yang ada di pulau Jawa atau setengahnya karena keterbatasan tadi.
Infrastruktur yang baik juga dapat mempengaruhi proyek lumbung pangan,terutama dalam infrastruktur pengairan yang memastikan ketersediaan yang baik. Namun hal itu lah yang menjadi faktor gagalnya proyek food estate.
Proyek food estate di era Jokowi yang sudah dikembangkan pada tahun 2020 ketika pandemi Covid-19 menerjang, juga digaungkan dengan krisis pangan. Hal ini lah yang menjadi orientasi untuk menjawab krisis pangan tersebut.
Khudori pun memberikan pandangannya jika dilihat dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) proyek ini sudah salah mulai dari perencanaan hingga menyebabkan eksekusinya juga salah.
“Proyek itu terlalu diburu-buru,” ungkapnya.
Sebagai orang yang memahami konteks pertanian menurutnya memang penting menambah komoditas pangan. Sebab lahan pangan per kapita Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam. Selisih dengan kedua negara itu bisa mencapai tujuh kali.
Sementara, lahan pangan per kapita merupakan cermin sejauh mana sebuah negara kira-kira punya kapasitas bisa memberi pangan warganya.
“Kalau kita tidak menambah lahan, ke depan pasti kita akan semakin banyak bergantung kepada impor,” tandasnya.*
Laporan Ari Kurniansyah