Kala Revisi UU ITE Keluar Jalur dan Menambah Masalah

Rapat Paripurna DPR RI Ke-10 Masa Persidangan II 2023/24 di Gedung DPR RI Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 5/12/2023 | Merinda Faradianti/Forum Keadilan
Rapat Paripurna DPR RI.

FORUM KEADILAN – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam sidang paripurna di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 5/11/2023. Penetapan tersebut merupakan tindak lanjut dari pengambilan keputusan tingkat I Revisi UU ITE yang dilaksanakan Komisi I dengan Pemerintah.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, UU ITE yang baru saja disahkan masih dapat berpotensi untuk mengkriminalisasi masyarakat. Mereka menilai, bukannya menghapus pasal kontroversial, DPR justru menambah permasalahan dengan memasukkan pasal karet tambahan yang bisa digunakan untuk meredam suara kritis publik.

Bacaan Lainnya

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum menyebut, masih terdapat pasal-pasal yang rentan digunakan untuk menjerat ekspresi l berbagai kalangan. Seharusnya, kata dia, Undang-Undang ini harus memberikan perlindungan dan keadilan pada masyarakat.

“Dari awal kami mendorong UU ini agar bisa memberikan perlindungan dan keadilan pada masyarakat, selain dari substansi tapi juga proses revisi dan penyusunannya seharusnya melibatkan masyarakat sipil yang lebih luas dan bermakna,” ucap Nenden kepada Forum Keadilan, Selasa.

Terdapat beberapa hal yang Nenden soroti, mulai dari Pasal 27A tentang pencemaran nama, Pasal 28 Ayat 2 soal ujaran kebencian, juga Pasal 28 Ayat 3 penyebaran informasi bohong yang bisa menjerat aktivis ataupun jurnalis yang kritis terhadap pemerintah. Kata dia, kedua pasal ini juga merupakan pasal peralihan dan akan dicabut ketika KUHP mulai berlaku pada 2026.

Pemerintah dan DPR memang telah menghapus ketentuan pada Pasal 27 Ayat 3 yang selama ini menjadi momok menakutkan masyarakat karena berisi muatan pencemaran nama baik. Namun, berdasarkan dokumen Revisi UU ITE yang diperoleh Forum Keadilan, terdapat Pasal 27A yang mengatur ketentuan serupa. Terlebih lagi dalam Pasal 45, terdapat ancaman pidana sebesar dua tahun penjara atau denda sebesar Rp400 juta bagi para pelanggar Pasal 27A.

Meski begitu, terdapat ketentuan tambahan di mana perbuatan tersebut tidak dapat dipidana sepanjang dilakukan untuk kepentingan umum ataupun karena terpaksa untuk membela diri.

“Mau tidak mau itu masih tetap bermasalah, meskipun sudah ada penambahan indiktor ataupun substansi yang lebih jelas dibandingkan sebelumnya,” lanjut Nenden.

Sedangkan pada Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran kebencian di mana orang yang menyebarkan informasi elektronik yang bersifat menghasut, sehingga menimbulkan kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu dapat dipidana. Pada Pasal 45A Ayat 2 disebutkan bahwa pelanggar dapat dipidana dengan hukuman penjara 6 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp1 miliar.

Nenden menyebut bahwa sudah terdapat penjelasan eksplisit terkait hal apa saja yang masuk dalam pencemaran nama dan ujaran kebencian. Namun dirinya ragu dan melihat terdapat celah yang bisa disalahgunakan terkait pasal tersebut.

“Kalau dilihat secara umum, proses revisi ini belum optimal karena masukan yang disampaikan masyarakaat sipil belum diakomodasi dan masih banyak peluang untuk menyalahgunakan pasak karet dalam UU ITE versi 3.0,” terangnya.

Operasi Senyap

Masalah lain yang Nenden soroti adalah prihal keterbukaan informasi. Sejak pembahasan sampai rapat di tingkat I, SAFEnet dan Koalisi Serius Revisi UU ITE tidak pernah mendapatkan draf rancangan UU secara formal.

Apalagi, kata Nenden, dari 14 rapat antara Panja dan pemerintah, masyarakat sipil hanya diundang dalam dua kali pembahasan tanpa diberitahu tindak lanjut atas aspirasi yang disampaikan. Dirinya juga menyesali tindakan pembentuk Undang-Undang yang tidak mengunggah hasil risalah rapat ke dalam website resmi.

“Dalam prosesnya pembahasan mereka lakukan secara tertutup jadi kita tidak tahu apa yang mereka bahas dan apa keputusannya. Itu tidak ada sama sekali,” ucapnya.

Nenden berharap agar revisi UU ITE yang telah disahkan tidak menjadi alat untuk membungkam kritik masyarakat. Apalagi, lanjut dia, Indonesia tengah memasuki kontestasi Pemilu dan Pilpres 2024.

Senada dengan Nenden, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Alviani Sabillah mengkritik pemerintah dan DPR yang kerap kali melakukan pembahasan secara tertutup. Ia mengungkapkan bahwa dalam pembentukan Perundang-Undangan telah diatur asas keterbukaan di mana pembentuk Undang-Undang harus mematuhi asas tersebut.

Hal tersebut termuat dalam Pasal 5 UU Nomor 11/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas keterbukaan, kata Alviani, merupakan asas dasar yang berkaitan dengan partisipasi dan transparansi. Prinsip ini tidak dapat dilepaskan dalam konteks pembentukan suatu Undang-Undang.

“Ketika pemerintah dan DPR mengesampingkan asas tersebut, mereka sudah menyalahi asas keterbukaan,” katanya kepada Forum Keadilan.

Alviani melihat, pembahasan Undang-Undang secara tertutup bukan hal yang pertama kali terjadi. Pada tahun 2019, terdapat beberapa UU kontroversif yang tidak melibatkan partisipasi publik, mulai dari UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Mineral dan Batu Bara dan juga KUHP.

Menurut Alviani, pemerintah dan DPR memiliki kecendurungan untuk menutup pembahasan jika mencakup hajat publik. Alhasil, kata dia, ini berdampak pada legitimasi moral yang tidak dipenuhi. Ketika suatu UU tidak mendapatkan legitimasi publik, peraturan tersebut tidak akan efektif berlaku di masyarakat.

“Karena dalam pembentukannya saja masyarakat tidak dilibatkan, bagaimana mereka bisa paham terkait apa yang sedang dibentuk dan akan berdampak pada dirinya sendiri,” kata Alviani.

Momok Menakutkan di Masyarakat

Selama ini, UU ITE merupakan momok menakutkan yang hadir di tengah masyarakat. Mulai dari warga biasa, jurnalis, hingga aktivis pernah terjerat pasal-pasal karet dalam Undang-Undang ini.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Parasurama Pamungkas menilai, netizen kerap menggunakan istilah unik seperti ‘Konoha’ dan ‘Wakanda’ untuk mengkritisi kebijakan publik.

Menurut Pamungkas, pengguaan istilah tersebut merupakan ekspresi ketakutan warga di mana negara bisa dengan mudah menggunakan UU ITE untuk mengkriminalisasi dan memenjarakan seseorang. Hal ini bermuara dari pasal-pasal pencemaran nama baik, hate speech dan juga pasal berita bohong.

“Bahkan hari ini masalahnya ditambah dengan hidupnya kembali pasal penghinaan terhadap lembaga negara sehingga menambah besar ketakutan kita bahwa hukum bisa digunakan untuk memenjarakan ekspresi seseorang yang legitimate dan sah,” ucapnya kepada Forum Keadilan.

Berdasarkan data yang dimiliki SAFEnet sepanjang 2022, setidaknya terdapat 97 kasus pemidanaan yang melibatkan 107 orang terlapor. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan total kasus pemidanaan pada tahun 2021 yang hanya sebanyak 30 kasus dengan 38 orang korban kriminalisasi.

Jumlah yang meningkat drastis ini sekaligus menempatkan 2022 sebagai tahun dengan jumlah pemidanaan terbanyak dalam 9 tahun terakhir.

Pasal utama yang digunakan untuk memidanakan terlapor masih didominasi dugaan pelanggaran UU ITE sebanyak 30 kasus. Sedangkan pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik menjadi pasal paling populer dengan jumlah 26 kasus disusul dengan pasal 28 Ayat 2 terkait ujaran kebencian berjumlah 11 kasus.

Sementara itu, latar belakang korban pemidanaan ekspresi yang paling banyak merupakan warganet sebanyak 32 orang, disusul oleh influencer dan pembuat konten sebanyak 19 orang, aktivis sebanyak 16 orang, serta mahasiswa 11 orang. Selanjutnya 8 orang advokat dan 5 orang pejabat publik juga dikriminalisasi.

Tanggapan Pemerintah dan DPR

Dihubungi terpisah, Anggota Komisi I Dave Laksono menyebut, DPR telah melakukan sejumlah rapat pembahasan yang melibatkan masyarakat sipil secara terbuka.

Dave pun tidak membantah bahwa terdapat pembahasan yang dilakukan pemerintah dan DPR secara tertutup.

“Akan tetapi masukan dari masyarakat sipil telah kami akomodir dalam pasal-pasal yang telah diperbaiki,” ucap Dave kepada Forum Keadilan

Menurut Dave, dalam waktu dekat akan terdapat aturan turunan yang dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Namun, Dave tidak merinci aturan turunan seperti apa yang dimaksud.

Sementara itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Usman Kansong menyebut, UU ITE yang baru telah menjamin kebebasan berpendapat dan memberikan kepastian hukum di Indonesia.

Usman mengungkap masyarakat yang mengutarakan suaranya tidak akan terkena sanksi sepanjang hal tersebut untuk kepentingan publik dan dalam rangka membela diri selama itu dapat dibuktikan.

“Justru Revisi UU ITE ingin memberikan kepastian hukum yang sebelumnya itu sempat ada berbeda penafsiran. Sekarang ini memberikan kepastian hukum,” katanya kepada Forum Keadilan.

Semangat dan revisi Undang-Undang ini, kata Usman, tetap menjaga kebebasan dan hak berpendapat.

“Tapi saat menjalankan hak kebebasan berpendapat tersebut, masyarakat harus mempertimbangkan hak dan kebebasan orang lain supaya ruang digital kita aman dan sehat. Itu tujuannya,” pungkasnya.*

Laporan Syahrul Baihaqi 

Pos terkait