FORUM KEADILAN – Narasi ‘gemoy’ yang digencarkan oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menuai kritikan. Namun, narasi itu sendiri disebut tak membawa dampak signifikan.
Gemoy pada dasarnya adalah kata plesetan yang berasal dari kata ‘gemas’. Istilah ini biasanya digunakan ketika melihat suatu objek yang menggemaskan.
Belakangan, istilah ‘gemoy’ sering dipakai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) Prabowo-Gibran dalam berpolitik. Bahkan, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Dedi Mulyadi sempat menggelar lomba joget gemoy di kampung halamannya, Subang, Jawa Barat, Sabtu 25/11/2023.
Ketua Koordinator Strategis Tim Kemenangan Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad menyebut, julukan ‘gemoy’ yang disematkan pada Prabowo Subianto diberikan langsung oleh generasi muda atau Gen Z. Pihaknya juga tidak keberatan dengan julukan tersebut.
“Tentunya julukan yang mereka berikan itu adalah julukan yang mereka sukai. Oleh karena itu kita menanggapinya ya senang-senang saja,” kata Sufmi saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin 27/11.
Narasi ‘gemoy’ ini sempat menuai kritikan. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Mohamad Sohibul Iman mengaku prihatin soal gimmick politik ‘gemoy’ yang dipakai untuk memenangkan Pemilu 2024. Padahal menurutnya, persaingan politik harusnya beradu gagasan.
“Sekarang ada istilah gemoy, santuy. Seakan-akan yang bisa memimpin negeri ini adalah mereka yang gemoy, gemoy apa gemoy? Saya enggak tahu juga tuh,” dalam acara Kick Off Kampanye Nasional PKS di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Minggu 26/11.
Kritik itu semakin menguat seiring munculnya kabar yang menyebut Prabowo-Gibran sering absen dari acara diskusi publik.
Terkait hal tersebut, Juru Bicara TKN Prabowo-Gibran, Grace Natalie angkat bicara. Ia mengaku, sebenarnya Prabowo-Gibran telah berupaya memenuhi semua undangan diskusi. Namun, terbatas waktu.
“Ini waktu sosialisasi kan amat pendek. Sementara Daftar Pemilih Tetap (DPT) itu ada 206 juta, tersebar di seluruh Indonesia. Pak Prabowo dan Mas Gibran berusaha memenuhi semua undangan, namun kan mustahil bisa berada di banyak tempat di saat yang sama,” ujar Grace kepada Forum Keadilan, 27/11.
Soal ‘gemoy’ sendiri, menurut Grace, istilah tersebut sudah populer jauh sebelum pendaftaran capres-cawapres. Julukan itu menjadi menarik, karena bertolak belakang dengan perjalanan karir Prabowo.
“Justru di situ menariknya. Mungkin karena berlatar belakang militer, kesan publik selama ini Pak Prabowo tegas dan serius. Ternyata ada sisi lain yang belum terekspos, ternyata sisi Pak Prabowo yang santai, suka joget dan chill, dimaknai gemoy oleh milenial dan Gen Z,” ungkap Grace.
Sementara itu, Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menilai, julukan ‘gemoy’ yang disematkan ke Prabowo sebenarnya tak efektif untuk meraih suara generasi muda.
Menurut Saidiman, pemilih muda cenderung mengapresiasi kinerja pemerintah. Profile rating Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga paling tinggi di kalangan Gen Z. Jadi, representasi Jokowi lah yang sebenarnya menentukan arah suara pemilih muda.
“Waktu dua sampai empat bulan lalu, Gen Z itu lebih banyak ke Ganjar. Tetapi ketika publik melihat bahwa ternyata keluarga Jokowi lebih ke Prabowo Subianto, anaknya bahkan menjadi cawapres Prabowo, sekarang ada kecenderungan mulai berimbang antara Ganjar dan Prabowo, yang dianggap sebagai representasi kelanjutan dari Jokowi. Jadi, ada efek Jokowi di sini,” kata Saidiman kepada Forum Keadilan, Senin 27/11.
Hal itu juga berlaku sebaliknya. Kata Saidiman, jika nantinya isu negatif soal politik dinasti menguat dan Jokowi meninggalkan PDIP di puncak karirnya, elektabilitas Prabowo-Gibran akan berkurang.
Selain faktor Jokowi, Saidiman juga berpendapat, generasi muda masih mempertimbangkan soal visi dan misi dari pasangan capres dan cawapres.* (Tim FORUM KEADILAN)