FORUM KEADILAN – Calon wakil presiden (cawapres) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengajak masyarakat untuk memviralkan oknum berlaku curang dalam Pemilu 2024. Ajakan Cak Imin ini dinilai sebagai kontrol sosial terhadap penyelenggara pemilu.
Cak Imin mengibaratkan pesta demokrasi selayaknya pertandingan sepak bola dengan rakyat Indonesia sebagai penontonnya. Ia meminta masyarakat untuk memviralkan wasit atau pemain yang curang.
“Kalau ada wasit merangkap pemain, kita foto kita sebar luaskan. Kalau ada wasit yang curang, kita laporkan FIFA sebagai lembaga tertinggi. Kalau ada pemain nakal dan tackling lawan, foto dan viralkan ke seluruh penjuru,” ujar Cak Imin dalam pidatonya di Kantor Pemilihan Umum (KPU), Jakarta Pusat, Selasa 14/11/2023.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Bakhrul Khair Amal menyebut, viral sudah menjadi salah satu cara pandang dalam berpolitik.
Ketika mencuat kabar dugaan keberpihakan dan tekanan dalam penyelenggaraan pemilu, viral menjadi suatu langkah kontrol sosial dalam penyelenggaraan pemilu.
“Ya sederhana, pernyataan Cak Imin itu mengenai kontrol sosial terhadap penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu itu kan ada KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketika ada viral, ini menjadi justice. Penegakan hukum saat ini tidak lagi di koridor hukum, tetapi di media sosial,” katanya saat ditemui di kawasan Mega Kuningan, Jumat 17/11.
Menurut Bakhrul, apa yang menjadi keresahan Cak Imin itu patut dirasakan dan dijalankan. Viral dapat menjadi bagian dari penegakan hukum, walaupun tidak terlegitimasi oleh produk hukum. Tetapi kata dia, viral juga bisa membuat kegaduhan kalau tidak ada kepastian hukum.
“Viral itu kan, ketika tersendatnya saluran dalam birokrasi penegakan hukum. Ketika tidak bisa lagi perlawanan secara hukum, maka dilakukan perlawanan secara opini dan publik,” jelasnya.
Untuk memberikan kepastian dalam demokrasi, menurut Bakhrul, pemerintah perlu mengembalikan kepercayaan masyarakat. Selain itu, capres maupun cawapres baiknya juga harus menjaga jalannya demokrasi.
“Jawabannya sederhana, capres dan cawapres siap kalah dan siap menang. Yang kalah berikan pada pemenang. Yang menang tidak melakukan euforia terhadap kemenangannya, dan yang kalah jangan menyakiti atau disakiti. Ini persoalan moral dan norma saja,” tegasnya.
Sementara, Pengamat Politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menganggap pernyataan Cak Imin sebagai kritik keras terhadap pengawasan pemilu. Kata Rey, tidak hanya Cak Imin, tetapi pasangan lainnya juga terkesan mengabaikan Bawaslu.
“Mereka tidak menyinggung peran Bawaslu, tetapi makin sering mengeluhkan makin maraknya pelanggaran. Artinya, makin banyak yang tidak tahu apa peran Bawaslu,” ucap Rey kepada Forum Keadilan, Jumat, 17/11.
Hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Kata Rey, itu merupakan akibat dari belum maksimalnya peran Bawaslu.
“Mereka sibuk urusan internal, rapat sana rapat sini, seminar sana seminar sini, jalan ke sana jalan ke sini. Mereka bahkan seperti tidak memiliki kebijakan yang sama,” ungkapnya.
Begitupun masyarakat. Menurut Ray, Bawaslu seakan tutup mata terhadap keluhan di masyarakat.
“Warga sudah banyak mengeluhkan dugaan ketidaknetralan ASN, aparat keamanan, dan sebagainya. Tetapi Bawaslu seperti hidup di planet lain. Seperti tak melihat dan mendengar berbagai keluhan masyarakat tersebut. Kurangnya aktivitas Bawaslu itulah yang akhirnya menjadikan banyak pihak mengabaikan keberadaan Bawaslu,” jelasnya.
Ray menegaskan, bukan capres-cawapres atau pihak luar yang seharusnya membenahi kepercayaan demokrasi. Namun, justru Bawaslu yang harus lebih tegas dalam memperlihatkan keberadaannya.
“Bawaslu tentu saja harus segera berbenah. Mereka harus hadir, diminta atau tidak diminta. Bukan capresnya yang dituntut, tetapi Bawaslu-nya. Bawaslu harus lebih pro aktif,” pungkasnya.*