FORUM KEADILAN – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, tidak perlu berapi-api dengan perbedaan pandangan pilihan pemimpin, karena memicu pecah-belah bangsa serta dapat menghindari politik transaksional dalam Pilpres 2024.
Pria yang kerap disebut Bamsoet itu menilai, dalam Pilpres 2024, setiap warga negara harus menghormati perbedaan pilihan. Dengan demikian, tidak perlu khawatir terhadap pencalonan masing-masing calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres).
“Jangan sampai Pilpres nanti memecah kita. Kita hargai masing-masing pilihan kita, kita hormati perbedaan pilihan, kita tidak perlu meresahkan pencalonan itu,” ucapnya saat memberikan sambutan di acara pecah Volkswagon, di Gedung Nusantara III, MPR RI, Jakarta Pusat, Sabtu, 11/11/2023.
Bamsoet memandang, setiap warga negara harus selalu mengedepankan implementasi dari Pancasila sebagai landasan dasar berpolitik. Hal itu guna tidak menyebarkan fitnah politik di Pilpres 2024.
Pasalnya, Bamsoet meyakini para pelaku politik di atas tidak saling bermusuhan setelah Pemilu selesai.
“Mengedepankan implementasi adalah Pancasila dan jangan menyebarkan fitnah untuk politik. Sebab yang di atas sudah membaik kita belum, untuk apa kita bertikai sedangkan yang lainnya tidak bermasalah,” ujarnya.
Selain itu, Bamsoet juga menyinggung demokrasi transaksional yang masih terjadi pada setiap calon legislatif (caleg), bupati, wali kota serta gubernur yang mencari suara pemilihan.
“Karena syarat untuk menjadi calon jelas memenuhi ambang tertentu maka ia harus merangkul partai-partai mengenai kuota itu ada ongkosnya juga benar atau tidak nanti tanya pada orang-orang yang pernah atau akan mencalonkan diri sebagai bupati, wali kota, maupun gubernur,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Bamsoet menjelaskan, berdasarkan data dan fakta, penyebab politik bersuhu tinggi merupakan bentuk demokrasi transaksional bernilai tinggi. Hal itu membuat tingkat korupsi jadi begitu meningkat tajam pasca reformasi, serta dilakukan secara terang-terangan.
“Gara-gara demokrasi transaksional bernilai tinggi maka tingkat korupsi begitu meningkat tajam pasca reformasi dan tidak-tidak ada malunya alias terang-terangan,” katanya.
Menurut Bamsoet, hal itu disebabkan mahalnya biaya demokrasi untuk menjadi seorang pemimpin masyarakat tingkat daerah maupun nasional. Pasalnya, berdasarkan penelitian tersebut, sedikitnya harus mengeluarkan uang sebesar Rp50 miliar sebagai ongkos politik.
Dengan demikian, lanjut Bamsoet, hal itu menjadi penyebab banyaknya kepala daerah dan anggota DPR yang terjerat kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT).
“Berdasarkan penelitian dan kajian, mahalnya biaya demokrasi kita dibutuhkan setidak-tidaknya Rp50 miliar menjadi seorang gubernur, bupati, wali kota. Makanya itu Lebih dari 400 kepala daerah anggota DPR semua tingkatan, terjerat kasus OTT,” tuturnya.
Bamsoet menuturkan, di masa kampanye juga menjadi tantangan berat, karena pragmatis. Pasalnya, kita akan menjumpai suatu kondisi di lapangan yang bermain dengan money politic (politik uang). Oleh sebab itu, sebagai warga negara harus benar-benar memahami pelanggaran dalam berpolitik agar tidak terjebak dalam politik uang.
“Karena pragmatis maka kita akan menemukan suatu kondisi di lapangan, sebagai warga negara praktik di masyarakat kita nomor piro wani piro, oleh karena itu yang menjadikan kita terjebak pada politik transaksional,” jelasnya.
Bamsoet berpendapat, agar dapat merayakan pesta demokrasi yang sudah dimulai, ia menyarankan masyarakat untuk mencegah hal tersebut, dengan menjalankan musyawarah mufakat sebagai prinsip budaya masyarakat Indonesia.
“Ini lah yang harus kita cegah segera dan ini bukan budaya kita ini bukan adab, bukan ke-Indonesiaan kita, ke-Indonesiaan kita adalah musyawarah mufakat,” tutupnya.*
Laporan Ari Kurniansyah