FORUM KEADILAN – Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengkritik, pemeriksaan Ketua KPK Firli Bahuri di Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Bambang mengatakan, seyogianya setiap orang itu sama di mata hukum, termasuk Firli Bahuri, yang mana berarti tidak ada kendala untuk menjadikannya sebagai tersangka jika terbukti bersalah.
“Seharusnya bisa, karena semua orang sama di mata hukum. Memang akan banyak muncul kendala, seperti hambatan psikologis Ketua KPK, mantan atasan berpangkat bintang 3, penyidik melati 3,” katanya kepada Forum Keadilan, Jumat, 20/10/2023.
Kata Bambang, hal tersebut merupakan ujian bagi profesionalisme Polri. Polri adalah institusi besar, meskipun pelaksana penyidikan ada di Polda Metro, tetapi Polda Metro tidak berdiri tunggal. Ada Mabes Polri yang juga harus mem-backup dan melakukan supervisi.
Kemudian, Bambang menjelaskan, jika Firli mangkir dari pemanggilan Polda kali ini, maka SOP-nya ketika seseorang terlapor tidak memenuhi panggilan pemeriksaan atau mangkir, memang harus dilakukan upaya persuasif lebih dulu.
“Bila upaya tersebut diabaikan, kepolisian memiliki kewenangan untuk melakukan upaya koersif, melalui jemput paksa,” ujarnya.
Meski begitu, kata Bambang, semuanya tergantung pada alat bukti yang sudah terkumpul.
“Cukup atau belum? Kalau alat bukti sudah cukup, mengingat Polda Metro mengumumkan prosesnya sudah naik ke tingkat penyidikan harusnya terus berjalan. Memang KUHAP mengatur adanya SP3, di mana penyidik bisa melakukan penghentian,” ucapnya.
“Undang-Undang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan terhadap kasus pidana yang telah dimulainya itu. Penghentian penyidikan itu dilakukan bila kasus itu dinilai tak perlu lagi diteruskan tahapan penegakan hukum selanjutnya,” imbuhnya.
Dikatakan Bambang, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) menurut KUHAP, penyidik menerbitkan SP3 setelah adanya seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pidana.
Jika mengacu KUHAP, SP3 ini hanya diatur dalam Pasal 109 ayat 2, yang berbunyi, ‘Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya’.
“Kasus pemerasan ketua KPK pada SYL tentunya terpisah dengan kasus korupsi yang dilakukan SYL,” tutur Bambang.
Bambang berpendapat oleh karena itu proses hukum keduanya bisa berjalan beriringan, apalagi penyidikan dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda.
“Memang akan muncul kendala-kendala teknis, tetapi itu bukan harus menjadi hambatan proses hukum keduanya tidak dijalankan. Hambatan-hambatan yang besar bukan soal teknis, tetapi psikologis penyidik dan bisa jadi intervensi politis. Kendala psikologis dan intervensi politis tersebut bisa diabaikan bila penyidik Polri maupun KPK memiliki integritas yang tinggi dan bekerja profesional,” terangnya.
Soal isu hubungan pemeriksaan Firli dengan Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, yang pernah dimutasi dari KPK, menurut Bambang, itu hanya fakta sosial saja. Bukan fakta hukum.
“Asumsi-asumsi seperti itu karena konflik Karyoto vs FB (Firli Bahuri) itu bisa saja terjadi, tetapi sebatas fakta sosial, bukan fakta hukum. Penyidik bekerja atas fakta-fakta hukum. Dalam hal ini adanya laporan SYL terkait pemerasan FB,” tandasnya.*
Laporan Novia Suhari