FORUM KEADILAN – Mantan narapidana terorisme (napiter) Ali Fauzi angkat suara terkait pengungkapan kasus terorisme yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat, pada 15 Agustus 2023.
Ali merupakan salah satu pelaku Bom Bali I yang telah berikrar untuk NKRI. Dirinya mendapat gelar doktor Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang.
Ali mengenal profil DE yang merupakan karyawan BUMN, tepatnya PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang ditangkap kasus terorisme di Bekasi. DE merupakan tersangka terorisme yang merencanakan aksi penyerangan atau amaliyah ke Mako Brimob Polri dan Markas TNI.
Menurut Ali, DE merupakan salah satu murid napiter dengan inisial WM. WM sendiri sebelumnya pernah dipenjara di Nusakambangan dan sudah bebas dari tahanan.
“Saya paham bahwa yang mendidik dia ini, yang menjadikan dia teroris ini saya kenal. Sudah ditangkap, dipenjara di Nusakambangan dan sudah bebas. Namanya alias WM,” ucap Ali kepada Forum Keadilan, Minggu, 20/8/2023.
Ali mengungkap bahwa WM telah merekrut DE sebagai muridnya sebelum dirinya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Dia juga menyebut setelah tobatnya WM dan berikrar untuk NKRI, DE tetap melanjutkan rencananya dan menganggap gurunya sudah tersesat.
“Kasus seperti ini banyak, gurunya sudah sadar dan sudah tobat tapi muridnya terus ingin melanjutkan lagi,” tuturnya.
“Muridnya ini sudah melakukan yang namanya ‘takhiri’. Jadi gurunya sudah dianggap kafir karena sudah tobat,” sambungnya.
Melihat persoalan yang terjadi di PT KAI, Ali berujar bahwa bukan hanya dari sektor kementerian yang bisa disusupi akar terorisme, ada juga perusahaan-perusahaan dan sarekat yang mana para teroris itu berkamuflase serta menyusup ke tempat-tempat tersebut.
Menurut Ali, pemerintah sulit mendeteksi adanya penyimpangan ideologi pada kementerian atau tempat-tempat lainnya.
“Hampir secara fisik tidak bisa dibedakan mereka itu, apakah mereka jaringan atau orang awam, itu susah,” ujar Ali.
Ali berpendapat bahwa hanya mantan napi terorisme yang sudah tobat dan berikrar setia untuk NKRI yang tahu pergerakan serta jaringan teroris di Indonesia. Kata Ali, kerja sama antara mantan napi terorisme dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk melakukan penanggulangan tindak pidana teroris berbasis preventif.
“Manfaatkan eks-eks napi yang tobat untuk mengetahui lokasi dan siapa saja yang terlibat, kemudian diajak program Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Beri mereka tugas untuk mengembalikan orang-orang itu ke jalur yang benar,” ucapnya.
Lebih lanjut Ali menyebut bahwa sudah ada kerja sama antara eks jaringan terorisme yang bekerja sebagai mitra kerja pemerintah. Namun Ali hanya mengetahui mitra kerja seperti ini hanya ada di Lamongan, Jawa Timur.
“Di Lamongan ada ‘Lingkar Perdamaian’ dan sudah bermitra dengan Densus 88 dan BNPT. (Tugas) Mereka melakukan edukasi-edukasi terhadap eks jaringan itu,” beber Ali.
Terlepas dari kasus tersebut, Ali menyebut bahwa teroris yang memiliki basis paham keagamaan memiliki pemahaman agama yang salah.
“Pemahaman agama yang mereka pahami seperti wajib mendirikan negara islam, wajib punya Amirul Mukminin (gelar yang diberikan bagi khalifah), dan kemudian wajib mendirikan Undang-Undang Islam. Intinya faktor keagamaan itu,” ucapnya.
Ketika ditanya lebih lanjut terkait senjata yang dimiliki oleh DE, Ali mengaku tidak tahu dari mana senjata itu berasal. Namun menurutnya, sebelum ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) runtuh, para teroris itu mendapat dari sana.
Meski begitu, Ali membongkar dari mana anggaran dana yang mereka peroleh. Menurutnya para jaringan itu biasa melakukan kegiatan di Bekasi, Jakarta ataupun tempat lainnya dengan mengumpulkan uang-uang infaq yang mereka kuasai.
“Kita sedang menunggu siapa sebetulnya pimpinan dari DE yang ditangkap di Bekasi,” tutupnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi