FORUM KEADILAN – Kepala Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (Puspom TNI) melayangkan protes kepada KPK. Marsekal Muda Agung Handoko, Komandan Puspom TNI menyebut bahwa KPK telah melebihi kewenangannya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI Letkol Afri Budi Cahyanto.
Protes Puspom TNI berbuah manis. KPK meminta maaf, mengakui penetapan status tersangka sebagai sebuah kekeliruan oleh lembaga antirasuah tersebut.
“Kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, akhir pekan lalu.
Sebuah permintaan maaf yang banyak kalangan dianggap konyol serta berlebihan. Mantan ketua KPK Abraham Samad menyebut pihak KPK seharusnya tidak perlu meminta maaf dan secara tegas harus tetap menangani perkara dengan melibatkan TNI dalam penyelidikan dan penyidikannya agar transparan.
“Menurut saya tidak ada tekanan dari TNI, cuma pimpinan KPK saja yang lebay, minta maaf,” sergah Samad kepada Forum Keadilan Senin 31/7/2023.
“Nggak perlu minta-minta maaf begitu,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Samad, eks penyidik KPK Yudi Purnomo juga menyebut lembaga antirasuah tersebut tak perlu meminta maaf lantaran ini menjadi bagian dari penegakan hukum.
Kepada Forum Keadilan, Yudi mengatakan adanya pro dan kontra dalam masyarakat lantaran ini baru pertama kali terjadi. Bahkan berimbas pada pengunduran diri Direktur Penyidikan (Dirdik) Brigjen Asep Guntur dari KPK.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menilai langkah para pejabat TNI yang berbondong mendatangi KPK, sebagai bentuk intimidasi terhadap KPK.
“Ini bukan hanya menunjukkan kuasa mereka, itu sebuah arogansi institusional yang menggambarkan bahwa TNI kita perlu reformasi,” ucapnya ketika dihubungi Forum Keadilan, Sabtu, 29/7/2023.
Sejatinya, KPK memiliki dasar hukumnya sendiri, yakni Undang-Undang KPK pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Mengacu pada pasal tersebut, seharunya KPK yang mengendalikan proses hukum kasus dugaan korupsi yang menyeret prajurit aktif TNI Marsdya Henri Alfiandi.
Namun, aturan ini seolah berbenturan dengan Undang-Undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menjelaskan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum tidak bisa diadili melalui peradilan sipil. Pasca pemberlakukan UU TNI tahun 2002, peradilan militer juga masih berwenang mengadili anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum.
Yudi pun membeberkan bahwa selama ini kasus korupsi yang melibatkan perwira aktif kerap kali diusut oleh instansi militer terkait.
“Jadi KPK yang menangani perkara sipil yang terlibat, ketika TNI yang terlibat ya ditangani oleh ini (instansi militer) gitu. Jadi faktanya KPK memang tidak pernah menangani,” jelas Yudi.
Lolosnya prajurit TNI dari jeratan KPK ini dikhawatirkan oleh berbagai pihak soal adanya impunitas pihak militer terhadap jalannya perkara hukum di Indonesia. Apalagi UU nomor 31 tahun 1997 dibentuk oleh Presiden Soeharto lantaran melihat banyaknya jenderal di Myanmar yang diadili di peradilan umum. Situasi ini masih dianggap oleh sebagian kalangan dibuat untuk melindungi para pejabat TNI.
Menyoal Undang-Undang nomor 31 tahun 1997, anggota Komisi I DPR Dave Laksono menyebut harus dipelajari lebih lanjut apakah perlu dilakukan revisi undang-undang lantaran hal ini akan memiliki dampak yang luas.
Menanggapi soal dugaan impunitas anggota TNI, Samad blak-blakan menyebut Basarnas bukanlah institusi yang berada di bawah militer. Meskipun dipimpin oleh seorang prajurit TNI aktif, namun tindakan korupsi yang terjadi di Basarnas berkaitan dengan kepentingan sipil. Oleh karena itu, KPK berhak melakukan penanganan perkara namun dengan melibatkan tim penyidik dari TNI.
Hal ini senada dengan pendapat Julius pun menyebut KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.
“KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum),” ucapnya.
Merupakan langkah yang hebat karena berani menyidik kasus dugaan korupsi terhadap perwira tinggi TNI yang masih aktif, OTT KPK kini seakan memiliki keterbatasan, yakni hanya mampu menjerat dan menangkap pelaku yang berasal dari kalangan sipil atau tunduk pada peradilan hukum.
Untuk penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI bersama kalangan sipil, KPK dan POM TNI dapat menangani perkara ini secara bersama-sama melalui peradilan koneksitas. Peradilan koneksitas menangani kasus pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum dan militer.
“Karena kerugiannya banyak dialami oleh kepentingan sipil bukan militer, itu digabungkan. Itu yang disebut koneksitas. Jadi penanganan perkaranya itu digabungkan antara KPK dengan TNI,” ungkap Samad.
Sejatinya, kejaksaan sudah memulai langkah adanya peradilan koneksitas pada 2002 dengan membentuk tim yang berasal dari unsur kejaksaan dan TNI. Kasus pertama untuk penanganan korupsi echnical assistance contract antara Pertamina dan Ustraindo Petrogas. Kasus ini melibatkan Ginandjar Kartasasmita, mantan menteri pada era Soeharto yang juga tercatat sebagai anggota TNI, serta sejumlah pejabat di Pertamina.
Namun, khusus untuk KPK, sejak didirikan tahun 2002 hingga aat ini, KPK belum pernah sekali pun membentuk tim koneksitas bersama dengan pihak TNI untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer.
Padahal, peradilan koneksitas ini dianggap membuat koordinasi antar pihak terkait hingga kasus hukum yang lebih transparan. Tujuannya agar tidak adanya lagi klaim sepihak yang mengisyaratkan bahwa sudah terjadi koordinasi antar pihak terkait.*