Kisah Pemburu Teroris yang Terteror

Ilustrasi Teroris
Ilustrasi teroris | ist

FORUM KEADILAN – 18 tahun silam, tepatnya pada November 2005, jurnalis Forum Keadilan menjadi saksi mata peristiwa mencekam penggerebekan DR Azahari bin Husin, salah satu teroris yang paling dicari di Indonesia kala itu.

Situasi mencekam di jalan Flamboyan Kelurahan Songgokerto, Batu, Malang, Jawa Timur, itu tak lepas dari sosok DR Azahari yang disebut-sebut sebagai ahli pembuat bom kelompok teroris Jamaah Islamiyah.

Bacaan Lainnya

Ia adalah otak di balik serangkaian aksi bom bunuh diri yang terjadi di konsulat Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta, Bom Malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP 2001, Bom Tahun Baru 2002, Bom Bali 2002, Pengeboman Makassar 2002, Bom Bandar Udara Soekarno-Hatta 2003, Bom JW Marriott 2003, Pengeboman bus Poso 2004, Pengeboman pasar Tentena 2005.

Tak pelak hal itu membuat seluruh pasukan Datasemen Khusus (Densus) 88 yang sedang mengepung sebuah rumah bernomor 7 bersikap waspada dan siaga tembak.

Misi operasi dengan sandi Walet Hitam itu salah satunya dilakukan dari sebuah rumah yang letaknya berseberangan dengan rumah kontrakan bernomor 7, tempat DR Azahari bersembunyi. Kontrakan itu berada di posisi tusuk sate jalan Flamboyan 1.

DR Azahari Cs bukan tanpa alasan memilih kontrakan tersebut sebagai lokasi persembunyian. Posisi itu membuat mereka lebih leluasa memantau potensi ancaman letaknya menghadap ke pertigaan jalan di kompleks perumahan tersebut.

Singkat kisah, DR Azahari meregang nyawa akibat rentetan tembakan anggota Densus 88. Kekhawatiran ledakan bom high explosive yang dapat melukai anggota mampu diantisipasi. Memang sempat terdengar bunyi ledakan dari dalam kontrakan, namun tak terlalu berdampak pada lingkungan sekitarnya.

Misi Walet Hitam sukses melumpuhkan salah satu the most wanted negara karena kematangan strategi operasi, kesabaran, serta kekompakan tim Densus 88.

Jurnalis Forum Keadilan menyaksikan langsung momen kekompakan itu tatkala Kabareskrim Komjen Makbul Padmanegara memeluk dan satu per satu mengecup kening tim densus 88 di lokasi peristiwa. Kekompakan yang menciptakan rasa haru, betapa setiap individu di tim itu saling percaya satu dengan yang lain.

Sepenggal kisah ini sengaja disajikan menjadi prolog Forum Keadilan dalam menyikapi peristiwa saling tembak antara anggota Densus 88 yang terjadi di Rusun Polri Cikeas Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dua anggota Densus 88, yakni Bripda IMS dan Bripka IG menembak mati Bripda IF, rekan senasib seperjuangan yang sebelumnya saling bahu membahu menumpas kelompok teroris di berbagai misi.

Peristiwa ini membuat kita terperangah. Gambaran solid tim Densus 88 yang tergambar di sejumlah operasi, termasuk operasi perburuan DR Azahari dikoyak oleh peristiwa memalukan ini.

Tanpa bermaksud mengecilkan kesedihan keluarga Bripda IF, poin penting yang harus dicermati dari peristiwa saling tembak antara sesama anggota Densus 88 ini, tak lain adalah buruknya proses rekrutmen maupun kepemimpinan di tubuh densus.

Hal tersebut sejatinya harus dimaknai sebagai ancaman, tak hanya ancaman bagi internal densus, lebih besar dari itu justru berpotensi menjadi ancaman keamanan terhadap bangsa dan negara.

Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Guna mengoptimalkan kinerja, satuan unit aniteror ini berisikan pasukan yang dibekali kemampuan khusus, baik teknis maupun mentalitas.

Sulit membayangkan Densus 88 mampu menjaga rakyat Indonesia dari aksi teror apabila di sisi lain para pemburu teroris tersebut memiliki mentalitas yang tak stabil, sebagaimana digambarkan lewat peristiwa saling tembak antar sesama anggota densus di cikeas.

Peristiwa saling tembak ini menjadi sebuah luka yang mengungkap dan mendesak evaluasi atas buruknya sistem serta leadership atau kepemimpinan berjenjang di internal Densus 88.

Jika dibiarkan, Densus 88 yang sejatinya adalah pemburu teroris, bukan tak mungkin bertransformasi menjadi peneror di internalnya sendiri, bahkan berpotensi sebagai peneror rakyat.* (Tim FORUM KEADILAN)

Pos terkait