FORUM KEADILAN – Pada HUT Bhayangkara ke-77 lalu Presiden Joko Widodo memuji tingkat kepuasan masyarakat terhadap institusi Polri meningkat dari 60 persen naik ke 70 persen. Begitu pula Survei Indikator Politik Indonesia setali tiga uang mengamini pernyataan Jokowi.
Lembaga survei itu menyebut peningkatan citra polisi di masyarakat tersebut mencapai 76,4 persen.
Namun angka survei dan pernyataan sang presiden disangkal dan dipandang tidak bisa dipakai sebagai tolak ukur kepuasaan masyarakat.
Program Manager Lembaga Bantuan Hukum Padang, Diki Rafiqi mencurigai tingkat kepuasaan masyarakat tersebut bersumber dari amplifikasi akun media sosial jajaran Polri, mulai dari Polsek, Polres, hingga Polda yang hanya mempublikasikan citra baik korps bhayangkara tersebut.
“Kalau mau fair, citra buruk mereka juga harus diangkat ke publik,” sergah Diki kepada Forum Keadilan, Rabu, 5/7/2023.
Diki secara spesifik menyoroti kinerja institusi polri yang saat ini kerap bersifat reaktif tatkala sebuah isu viral di publik, khususnya bersinggungan dengan perilaku persekusif bahkan menyiksa dalam menegakkan hukum.
“Kalau atensinya tinggi, si oknum polisi bisa dimutasi atau pencopotan. Kalau atensinya kecil hanya maaf-maaf saja. Kalo tidak ada atensi publik, laporan tidak diterima,” tutur Diki.
Begitu pula halnya praktik impunitas atau kebal hukum di tubuh Polri menurut Diki, masih sulit dinafikan karena sudah mandarah daging.
“Impunitas di tubuh kepolisian masih mendarah daging,” tuturnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, menolak tudingan budaya kekerasan di institusinya. Menurut Ahmad Ramadhan, kekerasan yang terjadi hanya ulah segelintir individu, dan tidak bisa digeneralisir atas nama institusi Polri.
“Tidak ada kultur kekerasan di Polri, itu adalah oknum,” ucapnya.
Menanggapi komentar tersebut, Diki menyanggah potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum yang kerap terjebak dengan terminologi oknum.
“Kita sering terjebak dengan istilah oknum, padahal kita melihat banyak fakta yang terekam,” ucapnya.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian menurutnya tak dapat dipisahkan dari tanggung jawab institusi itu sendiri. Penggunaan istilah oknum justru mengafirmasi kesan institusi Polri hendak melepas tanggung jawab atas perbuatan tercela anggota kepolisian
“Enak saja bicara soal oknum, oknum itu cuman 1 orang. Ini terjadi di setiap wilayah dan tak terbantahkan dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan,” tegasnya.*
Laporan Syahrul Baihaqi