FORUM KEADILAN – Baru-baru ini viral isu yang menyatakan perpanjangan kontrak PT di Cikarang mengharuskan karyawatinya untuk tidur dengan atasan.
Hal ini diungkapkan oleh akun twitter @Miduk17.
“Banyak yang up soal perpanjangan kontrak di perusahaan area Cikarang. Ada oknum atasan perusahaan yang mensyaratkan harus STAYCATION bersama karyawati agar mendapatkan perpanjangan kontrak. Yang mengerikan, ini ternyata sudah RAHASIA UMUM perusahaan dan hampir semua karyawan tahu,” cuit @Miduk17, pada Minggu, 30/4/2023.
Banyak yg up soal perpanjangan kontrak di perusahaan area Cik*rang
Ada oknum atasan perusahaan yg mensyaratkan harus STAYCATION bersama karyawati agar mendapatkan perpanjangan kontrak
Yg mengerikan, ini ternyata sudah RAHASIA UMUM perusahaan dan hampir semua karyawan tahu 😢
— Jhon Sitorus (@Miduk17) April 30, 2023
Menanggapi viralnya isu yang menyeret buruh wanita ini, Partai Buruh menjelaskan persoalan tersebut terjadi erat kaitannya dengan regulasi yang buruk sehingga merugikan kaum buruh.
“Situasi buruh kontrak seperti itu juga ada kaitannya dengan Undang-undang (UU) yang saat ini berlaku. Misalnya sekarang ada UU Cipta Kerja, di mana sistem kerja kontrak itu dilegitimasi oleh hukum,”katanya, Kamis, 4/5/2023.
“Sebetulnya itu ada kaitannya dengan regulasi. Kalau misalnya hubungan kerja itu tidak dalam kondisi yang buruk seperti sekarang, hal-hal seperti itu bisa diminimalisir,” ujarnya.
Meski demikian, Jumisih mengajak kepada seluruh buruh perempuan, agar tidak tunduk terhadap aturan-aturan yang merugikan buruh perempuan.
Lantaran, negara telah menjamin hal tersebut, sehingga hanya dibutuhkan keberanian untuk melaporkannya.
“Sekarang kan sudah ada UU (Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tetapi PP turunannya masih dalam proses perancangan. Namun sebetulnya, itu juga bisa dimanfaatkan supaya pihak korban mendapatkan keadilan, dengan melapor ke posko pembelaan, atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) setempat dan juga pihak kepolisian,” tegas Jumisih.
Selain itu, Jumisih meminta, apabila hal itu terbukti nyata, maka pihak perusahaan dan juga pemerintah harus bertanggungjawab.
Sehingga tak ada lagi buruh, khususnya buruh perempuan, yang menjadi korban akibat regulasi yang buruk dan pemanfaatan relasi kuasa yang sewenang-wenang.
“Persoalan tersebut juga harus meminta pertanggungjawaban dari pengusaha dan juga pemerintah. Sebagai korban, pekerja berhak untuk mendapatkan keadilan,” ujarnya.
“Ketika korban melapor, tentu saja harus mendapatkan pendampingan hukum, waktu, kesempatan dan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan dengan catatan tidak mengintimidasinya,” tegasnya.*