Rabu, 02 Juli 2025
Menu

Dampak Mengerikan Tambang Nikel Raja Ampat

Redaksi
Pulau Raja Ampat, Papua Barat Daya | greenpeace.org
Pulau Raja Ampat, Papua Barat Daya | greenpeace.org
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Keputusan pemerintah membuka kawasan wisata alam Raja Ampat untuk pertambangan nikel menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Menanggapi hal ini, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menyatakan bahwa eksploitasi nikel secara besar-besaran akan berdampak buruk, bukan hanya bagi masyarakat di sekitar lokasi tambang, tetapi juga masyarakat secara umum, termasuk yang tinggal di perkotaan.

“Pembongkaran fosil bawah tanah akan melepaskan emisi dalam skala besar. Industri nikel sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara, sehingga menjadi industri yang sangat kotor. Ini sangat bertolak belakang dengan klaim transisi energi yang disuarakan pemerintah maupun pelaku industri,” katanya kepada Forum Keadilan, Minggu, 8/6/2025.

Menurut Uli, persoalan menjadi semakin kompleks karena Raja Ampat merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau kecil. Tiga dari empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang ada di Papua berada di pulau kecil. Ia menilai, eksploitasi di wilayah tersebut akan menimbulkan dampak lingkungan yang jauh lebih parah.

“Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya tidak boleh ditambang. Hal ini sudah diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Putusan Mahkamah Agung juga pernah menguatkan hal ini saat WALHI menggugat salah satu izin tambang nikel di Pulau Wawonii,” jelasnya.

Selain aspek hukum, Uli juga menggarisbawahi pentingnya menjaga ekosistem laut di Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu pusat biodiversitas dunia.

Kerusakan terhadap terumbu karang akibat aktivitas pertambangan, kata dia, akan memperbesar pelepasan emisi karbon dan memperparah krisis iklim global.

“Raja Ampat memiliki 90 persen wilayah yang masuk dalam kawasan konservasi. Ada lebih dari 1.600 spesies moluska, 1.600 spesies ikan, 75 persen spesies karang dunia, dan 6 dari 7 spesies penyu dunia hidup di sana. Jika rusak, kerugian ekologisnya tidak bisa digantikan. Ini adalah kerugian besar dan jangka panjang,” ucapnya.

Ia pun memperingatkan bahwa industri nikel tidak hanya mengancam generasi sekarang, tetapi juga merusak masa depan generasi berikutnya.

“Kerusakan lingkungan akibat tambang nikel sangat sulit dipulihkan. Satu ekosistem bisa membutuhkan ratusan tahun untuk pulih, bahkan beberapa tidak bisa pulih sama sekali. Ini adalah kejahatan besar terhadap lingkungan,” katanya.

Karena itu, WALHI mendesak agar izin tambang nikel di Raja Ampat dicabut. Lebih lanjut, Uli menyatakan bahwa seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia seharusnya tidak lagi dijadikan sasaran eksploitasi tambang, baik nikel, batu bara, maupun jenis lainnya.

“Pemerintah harus menjadikan ini pelajaran. Jangan lagi dengan mudah memberikan izin pertambangan di wilayah-wilayah penting. Evaluasi menyeluruh harus dilakukan, dan izin yang sudah terbit di pesisir serta pulau kecil harus dicabut,” tandasnya.

Sementara itu, Deputi Eksternal WALHI, Mukri Fitriyani menyoroti salah satu perusahaan yang melakukan penambangan di Raja Ampat, yaitu PT GAG Nikel. Perusahaan ini memegang kontrak karya generasi VII yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998.

“Sejak November lalu kami mengumpulkan data tentang pulau-pulau kecil yang bermasalah akibat kegiatan ekstraktif. Salah satunya adalah Pulau Gag, tempat PT Gag Nikel beroperasi. Perusahaan ini awalnya merupakan joint venture antara BHP Billiton Asia Pacific (75 persen) dan ANTAM (25 persen),” katanya saat dihubungi.

Ia juga menjelaskan bahwa PT Gag Nikel adalah salah satu dari 13 perusahaan yang mendapatkan keistimewaan untuk menambang di kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

“Yang unik dari konsesi yang diberikan adalah total luasnya mencapai 13.136 hektare, terdiri dari 6.060 hektare daratan dan 7.076 hektare wilayah laut. Padahal, luas daratan Pulau Gag sendiri hanya sekitar 6.500 hektare,” pungkasnya.*

Laporan oleh: Novia Suhari