Fenomena Gubernur Konten, Pengamat: Demokrasi Bergeser Jadi Panggung Kompetisi Emosi

FORUM KEADILAN – Pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, Abdul Hakim menilai, fenomena politik yang melekat pada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mencerminkan perubahan besar dalam praktik demokrasi di era digital.
Menurutnya, julukan “Gubernur Konten” yang kerap disematkan kepada Dedi bukan sekadar adaptasi terhadap media sosial, melainkan bentuk eksploitasi terhadap logika algoritma yang mengutamakan visibilitas, emosi, dan interaksi semu.
“Dalam kerangka pemikiran Guy Debord tentang society of the spectacle, Dedi merepresentasikan kekuasaan politik yang dijalankan bukan lagi lewat proses deliberatif dan institusional, melainkan lewat performa yang dikemas untuk konsumsi massal,” ujar Abdul Hakim kepada Forum Keadilan, Minggu, 10/8/2025.
Abdul Hakim menyoroti bahwa dalam pola semacam ini, keberhasilan kebijakan diukur dari seberapa viral, bukan dari dampaknya terhadap keadilan sosial. Akibatnya, nilai demokrasi seperti partisipasi publik yang sejati, akuntabilitas institusional, dan kesetaraan substantif mulai terkikis.
“Demokrasi yang baik seharusnya tidak dinilai dari seberapa banyak ditonton, tetapi dari seberapa besar mampu mentransformasikan realitas sosial secara adil dan berkelanjutan,” ujarnya.
Menurutnya, fenomena seperti Dedi Mulyadi merupakan produk dari ekosistem politik digital yang memanjakan strategi populisme dan konten viral. Survei kepuasan publik yang tinggi, katanya, sering kali hanya mencerminkan efek penguatan algoritma, bukan evaluasi mendalam atas substansi kebijakan.
“Politik algoritma telah menggeser demokrasi dari arena pertukaran gagasan menjadi panggung kompetisi emosi, di mana keberhasilan ditentukan bukan oleh isi kebijakan, melainkan kemampuan memancing keterlibatan publik,” pungkasnya.*
Laporan oleh: Muhammad Reza