Pengamat: Fenomena Dedi Mulyadi Cerminkan Politik Konten dan Ilusi Partisipasi

FORUM KEADILAN – Julukan Gubernur Konten yang melekat pada Dedi Mulyadi dinilai mencerminkan strategi komunikasi politik berbasis daya viral dan emosi publik.
Pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang Abdul Hakim menyebut, fenomena Dedi sebagai bentuk nyata dari strategi politainment, yaitu percampuran antara politik dan hiburan.
“Praktik komunikasi politik Dedi menciptakan kondisi hiperrealitas, di mana citra kepemimpinan yang humanis dan penuh empati di ruang digital menggantikan realitas kebijakan itu sendiri,” kata Abdul Hakim kepada Forum Keadilan, Minggu, 1/6/2025.
Menurutnya, fenomena ini menunjukkan bahwa politik tak lagi dinilai dari isi kebijakan, melainkan dari seberapa kuat citra dan narasi yang dibangun di media sosial.
“Yang tampil bukan kebijakan yang dijalankan, melainkan representasi visual dan emosional yang terus diproduksi ulang di ruang digital,” ujarnya.
Lebih jauh, Abdul Hakim menyoroti risiko yang muncul dari dominasi logika media sosial dalam praktik politik. Ia menilai bahwa strategi politainment seperti yang dijalankan Dedi berpotensi mengerdilkan fungsi ruang publik sebagai arena diskusi rasional.
“Ketika logika tontonan mendominasi, kebijakan tidak lagi diuji melalui deliberasi publik, tetapi melalui jumlah likes, shares, dan komentar yang viral. Demokrasi pun terancam direduksi menjadi sekadar tontonan yang memuaskan emosi,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa interaksi Dedi dengan masyarakat di media sosial hanya menciptakan ilusi partisipasi.
“Hubungan itu lebih menyerupai monolog berbalut interaksi palsu. Tidak ada mekanisme umpan balik yang sistematis, tidak ada pelembagaan aspirasi. Ini relasi yang timpang,” katanya.
Abdul Hakim juga menyinggung melemahnya fungsi kelembagaan dalam konteks ini. Ia mencontohkan bagaimana DPRD Jawa Barat kerap dibuat terkejut oleh pengumuman kebijakan penting yang lebih dulu disampaikan di media sosial ketimbang di forum resmi.
“Prinsip checks and balances bisa runtuh oleh logika konten yang lebih mengutamakan kecepatan viral daripada deliberasi institusional,” ujar dia.
Salah satu contoh kebijakan yang menuai sorotan adalah program “rehab militer” untuk remaja bermasalah. Program ini dikritik oleh Komnas HAM karena dianggap melanggar hak anak, namun justru mendapat dukungan dari Menteri HAM Natalius Pigai.
Kebijakan lain yang disebutnya kontroversial adalah pencabutan izin wisata Puncak. Meski dinilai efektif dari sisi komunikasi, langkah itu dipertanyakan dari aspek yuridis.
“Pendekatan ‘shock therapy’ seperti ini memang cocok dengan logika media sosial: aksi cepat, penuh sensasi, dan mudah dikonsumsi publik, meski berisiko mengabaikan prosedur dan substansi kebijakan jangka panjang,” ujarnya.
Menurut Abdul Hakim, fenomena Dedi Mulyadi mencerminkan wajah baru demokrasi digital di Indonesia yang penuh paradoks. Di satu sisi, kehadiran pemimpin di media sosial menimbulkan kesan kedekatan, namun komunikasi yang terjadi tetap satu arah.
“Media sosial lebih menyerupai panggung personal ketimbang arena dialog publik. Semua narasi dikendalikan oleh aktor politik, sementara publik hanya menjadi penonton,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan bahwa jika tidak dikawal secara kritis, Jawa Barat bisa menjadi laboratorium awal dari platformisasi kebijakan publik.
“Di titik ini, kebijakan tidak lagi diukur dari dampak sosial, tetapi dari engagement rate yang merusak kualitas demokrasi,” pungkas Abdul Hakim.*
Laporan oleh: Muhammad Reza