Minggu, 22 Juni 2025
Menu

Upaya Jokowi Cari Panggung Politik Lewat Ketum Partai Demi Jaga Warisannya

Redaksi
Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) | Ist
Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) | Ist
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Setelah satu dekade lamanya memimpin Indonesia, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) sempat menyampaikan bahwa ia akan ‘pulang ke Solo’ usai masa jabatannya berakhir.

Namun, Mantan Wali Kota Solo tersebut justru terlihat terus berupaya mempertahankan pengaruh politiknya, bahkan ia juga berambisi menjadi ketua umum partai politik (ketum parpol).

Teranyar, dia melontarkan pernyataan bahwa dirinya lebih memilih untuk menjadi Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ketimbang Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Jokowi mengaku bahwa partai berlogo Ka’bah tersebut telah memiliki banyak calon ketua umum (caketum) yang lebih mumpuni dan memiliki kapabilitas daripada dirinya. Oleh karena itu, dia menyebut bahwa dirinya lebih tepat berada di PSI.

Selain dikabarkan masuk dalam bursa calon ketua umum beberapa partai, Jokowi juga tengah menaruh panggung politiknya dengan melaporkan sejumlah orang di kasus tuduhan ijazah palsu.

Lalu, apakah Jokowi benar-benar ingin “pulang”, atau justru tengah membangun panggung politik untuk menjaga warisannya?

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat menilai bahwa langkah-langkah Jokowi saat ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mempertahankan jaringan kekuasaan yang telah ia bangun selama menjabat.

Ia menilai, Jokowi bukan hanya membangun kekuasaan sebagai presiden, tapi juga membangun soft power politik melalui relawan, loyalis, dan jejaring di birokrasi serta partai politik.

“Selama ini Jokowi sudah dianggap berhasil membangun jaringan kekuasaan. Kita tahu ada Projo di birokrasi, bahkan di partai. Agar jaringan ini tetap hidup, tentu Jokowi butuh panggung politik,” kata Cecep saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 9/6/2025.

Langkah menjadi ketua umum partai, menurut Cecep, merupakan bentuk dari retaining power atau usaha untuk mempertahankan pengaruh pasca-pemerintahannya selesai.

Menurutnya, hal yang dilakukan bukan sekadar strategi politik, melainkan juga bentuk dari ego politik dan kebutuhan untuk menjaga jaringan yang telah lama dibangun.

Cecep menambahkan bahwa banyak mantan presiden memilih untuk tetap berada di pusaran kekuasaan, baik dengan membangun institut, lembaga riset, maupun tetap aktif di partai. Namun dalam kasus Jokowi, situasi tersebut berbeda.

“Ketika Jokowi selesai presidensi, dia keburu ‘digeser’ oleh PDI Perjuangan. Padahal, dia perlu ruang untuk memitigasi risiko, termasuk potensi ancaman hukum terhadap keluarga dan loyalisnya,” katanya.

Cecep menyebut bahwa tidak sedikit kasus di mana para loyalis terlibat masalah hukum setelah masa jabatan presiden berakhir.

“Kalau dia punya partai tentu punya bargain position. Jadi ada pesan Jokowi untuk mempertahankan peninggalannya sehingga perlu panggung politik untuk mempertahankan itu,” ucapnya.

Sementara itu, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, Jokowi sepenuhnya sadar akan konsekuensi dari kekuasaan yang ia emban selama sepuluh tahun.

“Dia paham bahwa banyak tanggungan yang harus dia pertanggungjawabkan, dia jaga, dia pelihara, dia lestarikan dan itu hanya efektif kalau dia tetap ada dalam lingkaran politik,” katanya saat dihubungi Forum Keadilan, Senin, 9/6.

Oleh karena itu, kata dia, meninggalkan politik sepenuhnya dianggap bukan pilihan yang strategis.

“Jadi mau tidak mau dia harus sebisa mungkin berada dalam pusaran politik, kalau dia tinggal itu akan sangat tidak strategis,” ucapnya.

Ia menyebut bahwa keterlibatan Jokowi dalam kontestasi politik 2024, termasuk dukungannya terhadap Prabowo, menjadi sinyal kuat bahwa ia tidak berniat ‘pulang’ sepenuhnya.

Dalam situasi seperti ini, kata dia, menjauh dari panggung politik justru bisa menjadi risiko.

“Apalagi kalau benar-benar tidak terlibat, mungkin ada akselerasi untuk situasi yang sangat berbalik arah buat dia nantinya. Saya kira dia orang yang paham kalkulasi politik,” katanya.

Ketika ditanya apakah keterlibatan politik ini juga untuk melindungi keluarga Solo, Firman tak ragu mengiyakan.

“Itu sudah bisa ditebak tanpa harus saya bilang. Dia (Jokowi) harus maintain seluruh dampak dari kekuasaannya selama 10 tahun,” ucapnya.*

Laporan oleh: Syahrul Baihaqi