SE Larangan Diskriminasi Pekerja Dinilai Lemah Secara Hukum, Pemerintah Harus Revisi UU Ketenagakerjaan

FORUM KEADILAN – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja. Sejumlah pengamat menilai bahwa SE tersebut masih lemah di mata hukum. Mereka menilai bahwa pemerintah seharusnya menerbitkan Peraturan Menteri ataupun merevisi Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyebut bahwa SE Nomor M/6/HK.04///2025 ini diterbitkan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mewujudkan prinsip non-diskriminasi dalam dunia kerja, sekaligus menanggapi dinamika ketenagakerjaan terkait syarat rekrutmen yang dianggap tidak adil dan eksklusif.
Dalam SE tersebut, Yassierli menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sehingga, pemberi kerja dilarang melakukan diskriminasi atas dasar apapun dalam proses rekrutmen tenaga kerja.
Salah satu hal yang paling disorot ialah soal persyaratan usia. Aturan ini tetap memperbolehkan pembatasan usia dalam rekrutmen hanya dalam kondisi tertentu, yaitu untuk pekerjaan yang menuntut kemampuan khusus yang secara nyata memengaruhi kinerja seseorang dan/atau selama tidak membatasi peluang seseorang untuk mendapat pekerjaan.
Pakar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Islam Indonesia (UII) Ayunita Nur Rohmawati menilai, kebijakan Menaker terkait larangan diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja merupakan langkah positif dari sisi substansi.
Namun, ia menyayangkan bentuk hukum yang digunakan dalam kebijakan tersebut, yakni berupa Surat Edaran (SE) yang dinilai lemah secara kekuatan hukum.
Namun, kata dia, penggunaan Surat Edaran tersebut menimbulkan masalah dari sisi keabsahan hukum. Ia menjelaskan bahwa Surat Edaran sejatinya hanya bersifat internal dan berlaku di lingkungan Kementerian saja.
“Jadi Surat Edaran ini harusnya berlaku ke dalam Menaker saja karena karena memang disini bentuknya Surat Edaran,” kata Ayunita saat dihubungi Forum Keadilan, Sabtu, 31/5/2025.
Menurutnya, apabila kebijakan tersebut ingin diberlakukan secara meluas ke masyarakat, maka yang diperlukan ialah Peraturan Menteri, bukan Surat Edaran.
“Surat Edaran adalah bentuk kebijakan dari pejabat publik yang semestinya hanya berlaku ke dalam institusi, dalam hal ini internal Kementerian Ketenagakerjaan. Jika ingin diberlakukan ke luar atau bersifat mengikat bagi masyarakat luas, seharusnya bentuk kebijakannya berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa secara hukum, Surat Edaran tidak memiliki kekuatan mengikat ke luar dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengatur pihak lain di luar instansi yang bersangkutan.
“Jadi kalau kita melihat dari perspektif hukum, kekuatan mengikat dari Surat Edaran Menaker ini hanya berlaku ke dalam saja. Sangat disayangkan apabila maksud baik dari kebijakan ini tidak disertai dengan bentuk hukum yang tepat,” tegasnya.
Apalagi, kata dia, tidak ada sanksi dalam Surat Edaran ini sehingga peraturan tersebut dinilai masih sangat longgar. Hal ini menyebabkan tidak adanya penjatuhan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi Surat Edaran tersebut.
Oleh karena itu, Ayunita menilai bahwa Kemenaker harus segera mengeluarkan Peraturan Menteri soal larangan diskriminasi untuk rekrutmen pekerja.
Revisi UU Ketenagakerjaan
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa SE Menaker atas larangan diskriminasi dalam rekrutmen pekerja dinilai lemah.
Ia menyebut bahwa pemerintah harus segera merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Penghapusan diskriminasi syarat kerja tidak cukup hanya dengan Surat Edaran, itu lemah sekali. Kalau bisa segera keluar aturan revisi UU Ketenagakerjaan,” kata Bhima saat dihubungi Forum Keadilan, Sabtu, 31/5.
Ia menegaskan, sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang lebih tegas dengan merevisi UU Ketenagakerjaan agar perusahaan dilarang mencantumkan syarat usia, jenis kelamin, atau syarat lain yang tidak relevan dalam lowongan kerja.
Di sisi lain, kata Bhima, Indonesia disebut tertinggal dibanding negara-negara tetangga di ASEAN dalam hal perlindungan terhadap pencari kerja dari diskriminasi.
“Bahkan Indonesia terbilang terlambat di ASEAN. Vietnam, Malaysia hingga Singapura sudah punya regulasi dan sanksi tegas soal diskriminasi usia pelamar kerja,” katanya.
Ia mencontohkan, di Vietnam terdapat denda setara Rp6 juta bagi perusahaan yang melakukan diskriminasi dalam pembukaan lowongan kerja.
Bhima menyebut bahwa kondisi ini semakin mendesak untuk ditangani karena tren pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja, terutama yang berusia 35 tahun ke atas terus meningkat.
Hal ini, kata dia, akan berimbas pada pekerja tersebut untuk kembali ke sektor formal karena adanya batasan syarat usia.
“Menaker mesti bertindak cepat karena gelombang PHK di usia 35 tahun keatas makin marak. Khawatir banyak yang susah kembali ke sektor formal, terpaksa jadi ojol (ojek online) dengan penghasilan rendah,” katanya.
Persiapkan Permenaker
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer menegaskan pentingnya penghapusan sejumlah syarat diskriminatif dalam lowongan pekerjaan, seperti penampilan fisik menarik (good looking), usia, hingga status pernikahan melalui Surat Edaran Menaker yang telah diterbitkan beberapa hari lalu.
Noel, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa syarat-syarat tersebut tidak relevan dan justru menciptakan ketidakadilan dalam dunia kerja.
Menurutnya, saat ini Kemnaker tengah mempersiapkan regulasi yang lebih kuat dalam bentuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) untuk menggantikan SE yang telah dikeluarkan.
“Masih akan dilakukan pembahasan. SE ini menjadi dasar sementara untuk menuju produk hukum yang lebih tinggi,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 30/5.
Terkait respons dari dunia usaha, Noel mengakui ada penolakan dari sejumlah perusahaan. Namun, ia menegaskan bahwa semua pihak harus mematuhi regulasi yang dibuat negara.
“Banyak yang lakukan penolakan. Tapi prinsipnya, mereka harus patuh terhadap negara. Ini yang membuat regulasi kan negara, bukan LSM atau ormas,” ujarnya.
Dirinya menyebut langkah ini sejalan dengan arahan presiden untuk menyederhanakan aturan-aturan yang dianggap menghambat dunia usaha. Pemerintah, lanjutnya, justru ingin menciptakan iklim usaha yang sehat dan nyaman.
“Kita mendukung pengusaha supaya bisa berusaha dengan lancar dan untung. Tapi selain bayar pajak, ya hapus juga syarat-syarat diskriminatif itu. Negara ini hadir bukan untuk membatasi, tapi untuk mendukung usaha,” tutupnya.*
Laporan oleh: Syahrul Baihaqi