FORUM KEADILAN – Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPP-UP) memberhentikan Prof Marsudi Wahyu Kisworo dari jabatannya sebagai Rektor Universitas Pancasila (UP).
Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Ketua Pembina YPP-UP Nomor 04/KEP/KA.PEMB/YPP-UP/IV/2025 yang ditandatangani pada 24 April 2025.
Menurut salah satu mahasiswi UP berinisial W, pemberhentian ini diduga sebagai bentuk upaya YPP-UP untuk kembali memperkerjakan mantan Rektor UP Edie Toet Hendratno (ETH) yang kini berstatus terduga pelaku kasus pelecehan.
“YPP-UP menginginkan mantan rektor ETH aktif kembali, sehingga menurunkan rektor yang baru bahkan orang-orang yang menentang pengaktifan ETH mendapat tekanan dari pihak yayasan,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin, 28/4/2025.
Dirinya memandang, pemberhentian itu juga karena sikap Rektor Marsudi mendukung korban pelecehan rektor sebelumnya. Bahkan, ia juga menentang upaya YPP-UP untuk mengaktifkan kembali ETH di tengah dugaan kasus pelecehan yang belum rampung.
“Pihak yayasan dari Universitas Pancasila YPPUP ingin mengaktifkan kembali menjadi rektor di UP. Kemudian, mendapat tentangan dari rektor karena ada kasus pelecehan yang belum selesai,” ujarnya.
Selain itu, W menuturkan, hal itu tidak sesuai dengan syarat yang mengatur tentang calon rektor dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 55 Tahun 2020 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
“Jika sesuai Permendikbud tentang seseorang yang sedang dalam proses hukum atau berstatus tersangka atau terpidana dalam suatu perkara pidana, tidak diperkenankan untuk menjabat sebagai rektor atau pejabat di perguruan tinggi. Tetapi, setelah ETH dituruan, kemudian dilantik rektor baru, pihak YPP-UP ingin mengaktifkan kembali,” katanya lagi.
Lebih lanjut, situasi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai integritas lembaga pendidikan di Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai moral dan etika dalam kepemimpinan.
Mahasiswi Universitas Pancasila ini berharap agar yayasan dan pihak terkait dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan yang tidak hanya berpihak pada salah satunya saja, tetapi juga pada keadilan dan moralitas yang seharusnya dijaga dalam dunia pendidikan.
“Sebagai mahasiswa pengennya pihak yayasan UP lebih terbuka matanya sama kasus ini, ga semerta-merta peduli dengan keadaan ETH. Mau mencerdaskan anak bangsa tapi orang yang masih berkasus diaktifkan kembali jabatannya,” tandasnya.
Di kesempatan berbeda, Marsudi membenarkan informasi terkait pemberhentian dirinya oleh pihak YPP-UP.
“Benar,” jawab Marsudi saat dikonfirmasi.
Marsudi menduga, pemberhentiannya berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang melibatkan mantan Rektor UP Edie Toet Hendratno.
Bukan tanpa sebab, dia menerangkan, beberapa pejabat universitas termasuk dirinya yang aktif melakukan advokasi terhadap korban, menerima tekanan dan intimidasi.
“Ada hubungannya dengan kasus ETH sehingga terjadi tekanan dan intimidasi terhadap beberapa pejabat termasuk yang sudah diberhentikan secara sewenang-wenang oleh YPP-UP tanpa ada kesalahan dan tanpa kesempatan membela diri karena selama ini dianggap aktif melakukan advokasi kepada korban kasus ETH,” ujar dia.
Dia menyebut, ancaman semakin masif usai menolak untuk mengaktifkan kembali Edie Toet Hendratno pada Oktober lalu.
Kata Marsudi, ancaman lisan dan melalui pesan singkat datang dari oknum di YPP-UP, yang menyampaikan dirinya dapat dievaluasi karena dianggap tidak patuh terhadap arahan yayasan.
“Langkah yang saya lakukan sebagai Rektor ketika dilantik, maka atas arahan LLDIKTI 3 yaitu memulihkan hak-hak korban kembali seperti semula, mendapatkan teguran dari oknum YPP-UP. Usul saya mengangkat Jend Pol Djoko Hartanto yang pernah jadi WR3 (Warek 3) dan Jend Pil Untung untuk menjabat, ditentang dengan alasan mereka dulu melawan ETH,” ujar dia.
“Pada bulan Oktober saya menolak untuk mengaktifkan kembali ETH. Penolakan ini rupanya menambah kuatnya tekanan dan intimidasi kepada saya sehingga pernah ada ucapan yang saya anggap sebagai ancaman baik lisan maupun via WA dari oknum YPP-UP bahwa yayasan dapat mengevaluasi saya karena tidak patuh kepada perintah yayasan,” tandasnya.
Menyoroti hal itu, pengamat pendidikan Ina Liem menyayangkan dugaan intimidasi yang dilakukan oleh YPP-UP tersebut. Menurutnya, pemberhentian itu menunjukkan betapa beratnya memberantas kekerasan seksual di dunia pendidikan Indonesia.
“Sangat disayangkan, alih-alih mendukung upaya perlindungan korban, yang terjadi justru intimidasi terhadap pihak yang membela. Ini mencerminkan pembalikan moral. Pelaku tidak lagi merasa malu, sementara pembela keadilan ditekan,” ucapnya saat dihubungi Forum Keadilan.
Dirinya memandang bahwa individu yang terbukti melakukan kekerasan seksual atau yang melanggengkan budaya pembungkaman korban, tidak seharusnya diberi tempat lagi di dunia pendidikan.
“Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh kembang karakter dan intelektualitas, bukan tempat di mana kekerasan dan ketidakadilan dilanggengkan,” katanya.
Oleh sebab itu, Ina Liem menegaskan, untuk melakukan langkah terhadap terduga pelaku, selain sanksi pidana, juga perlu ada sanksi sosial dan administratif termasuk pelarangan berkarier di lingkungan pendidikan.
“Ini bukan hanya soal keadilan untuk korban, tetapi juga demi menjaga integritas dunia pendidikan di Indonesia,” pungkasnya.*
Laporan Ari Kurniansyah