FORUM KEADILAN – Juru Bicara (Jubir) Tim Hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah menyebut, dari tujuh saksi yang telah dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang tidak ada yang menyebut uang suap Pergantian Antar Waktu (PAW) Harun Masiku berasal dari Hasto.
“Satu persatu bagian dari dakwaan KPK itu tidak terbukti atau bertentangan dengan fakta-fakta persidangan,” kata Febri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jumat, 25/4/2025.
Febri menegaskan, keterangan ketujuh saksi tersebut juga telah membantah dakwaan JPU yang menyebut Hasto memberikan suap dalam dua tahap.
“Mulai dari tuduhan terkait dengan sumber dana sebagian adalah dari Pak Hasto, itu tidak ada satu pun saksi yang mengatakan demikian,” tambahnya.
Ia justru menyinggung pernyataan saksi Rahmat Setiawan Tonidaya yang menyebut Hasto sempat bertemu dengan eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan di Kantor KPU RI.
Febri menegaskan, tidak ada perbuatan melanggar hukum dalam pertemuan antara Hasto dan Wahyu. Apalagi, kata dia, pertemuan itu dalam rangkaian rekapitulasi rapat pleno terbuka KPU RI dan turut ditemani oleh saksi-saksi dari PDI Perjuangan.
“Wajar Sekjen dari sebuah partai kemudian datang ke rapat resmi dan kemudian ada sesi istirahat dan merokok kemudian datang ke tempat Pak Wahyu bersama-sama pihak yang lain,” ujarnya.
Dari keterangan tujuh saksi tersebut, Dirinya pun semakin yakin bahwa tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan Hasto Kristiyanto.
“Kami menemukan indikasi kuat di tengah ada upaya yang sah dan konstitusional dari PDI Perjuangan untuk mengajukan judicial review untuk meminta fatwa MA dan menyurati KPU. Ini adalah peristiwa konstitusional dan merupakan hak partai politik,” tuturnya.
Dalam kasus ini, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice dan menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan Rp600 juta agar Harun Masiku bisa menjadi anggota DPR RI Pergantian Antar Waktu (PAW) 2019-2024.
Dalam dakwaan pertama, ia disebut melanggar Pasal 21 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Sedangkan pada dakwaan kedua, ia dijerat melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.*
Laporan Syahrul Baihaqi