FORUM KEADILAN – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah mengembalikan berkas perkara pagar laut Tangerang ke penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu. Polri menilai, perkara pemalsuan dokumen di Tangerang yang ditangani itu tidak memenuhi unsur korupsi.
Menyoroti hal ini, Pakar Hukum Pidana Abdul Fikar menyebut, pihak kepolisian terlalu sempit menafsirkan bahwa tidak adanya unsur korupsi terkait kasus pagar laut Tangerang. Menurutnya, tindakan korupsi tersebut tidak selalu merugikan negara secara langsung.
“Penegak hukum ini terlalu sempit menafsirkan, para pegawai pemerintahan yang nakal mengambil keuntungan sendiri meski tidak merugikan negara secara langsung,” katanya kepada Forum Keadilan, Senin 14/4/2025.
Menurut Abdul Fikar, para pejabat yang telah memperkaya diri sendiri, termasuk dalam kerugian negara. Sebab, para pejabat korup telah menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya.
“Negara rugi telah mendidik orang menjadi pejabat korup meski bukan uang negara, mereka telah menggunakan jabatannya menguntungkan diri sendiri merugikan kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum,” ujarnya.
Selain itu, Abdul Fikar meminta agar pihak kepolisian menangani tindak pidana umum terkait kasus pagar laut Tangerang. Sementara, terkait kasus kerugian negara untuk ditindak lanjuti oleh Kejagung RI maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Tindak pidana umumnya silakan ditangani Polri, korupsinya biar Kejaksaan atau KPK yang menyidiknya,” tandasnya.
Sebelumnya, pada 24 Maret lalu, jaksa penuntut umum (JPU) mengembalikan berkas perkara empat tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen terkait pagar laut di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten.
Dalam petunjuknya, JPU meminta agar kasus tersebut disidik dengan Pasal Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan Pidana Umum.
Sementara, dalam berkas perkara itu, empat tersangka dijerat dengan Pidana Umum, yakni Pasal 263 KUHP dan Pasal 264 KUHP mengenai pemalsuan dokumen, Pasal 266 KUHP tentang keterangan palsu ke dalam bukti otentik, dan Pasal 55-56 KUHP.
Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Djuhandhani Rahardjo Puro, setelah mempelajari petunjuk Kejagung tersebut, Bareskrim Polri kemudian meminta pertimbangan beberapa ahli terkait. Salah satu yang diminta pendapat adalah pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Bareskrim Polri juga telah meminta pandangan dari beberapa ahli mengenai ada tidaknya kerugian negara dalam kasus itu.
“Mereka belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara,” katanya.*
Laporan Ari Kurniansyah