Joshua Breinhmamana
Peneliti Sigmaphi Indonesia
FORUM KEADILAN – Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan kebijakan efisiensi anggaran yang bertujuan menghemat belanja kementerian, lembaga, serta dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Awalnya, kebijakan ini ditargetkan menghemat sebesar Rp306,7 triliun sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Namun, realisasinya jauh di atas itu, mencapai Rp750 triliun.
Dalam literatur ekonomi, langkah presiden ini sebenarnya lebih tepat disebut austeritas ketimbang efisiensi. Efisensi adalah mengoptimalkan output dengan sumber daya yang tersedia sedangkan austeritas adalah pemangkasan anggaran.
Tujuan pemangkasan anggaran kali ini diarahkan untuk mendukung berbagai program strategis, seperti makan bergizi gratis, perbaikan sekolah, ketahanan pangan, serta penguatan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang baru saja dibentuk. Tentu saja, tidak ada yang keliru dalam penerapan kebijakan austeritas itu. Toh, tujuannya adalah meningkatkan efektivitas belanja negara dan mengalokasikan sumber daya ke sektor produktif.
Salah satu prioritas dari austeritas adalah program makan bergizi gratis, yang diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,95 persen hingga 2 persen. Dampak positif dari kebijakan ini terutama akan dirasakan oleh pelaku usaha kecil, petani, peternak, dan nelayan yang menjadi bagian dari rantai pasok kebutuhan pangan nasional.
Mestinya, kebijakan penghematan ini diimbangi dengan strategi moneter yang tidak terlalu ketat. Jika anggaran negara ditekan tanpa dukungan kebijakan moneter yang fleksibel, konsumsi rumah tangga bisa melemah, peredaran uang berkurang, dan investasi kehilangan daya tarik. Mestinya, penurunan suku bunga dapat menjadi salah satu cara untuk menjaga keseimbangan ekonomi.
Jadi pemerintah perlu berhati-hati agar kebijakan austeritas ini tidak menjadi bumerang. Bagaimanapun, pemangkasan punya dua mata pedang yang sama tajam: bisa membantu perekonomian sekaligus dapat pula menambah tekanan persoalan. Pada kondisi perlambatan ekonomi seperti sekarang, ketika belanja negara kerap menjadi stimulan utama bagi permintaan agregat, pemangkasan anggaran tentu menjadi riskan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya 5,03 persen, melambat 0,02 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam perspektif Keynesian, pemangkasan belanja negara saat ekonomi melemah justru memperburuk situasi. Produktivitas akan menurun, pengangguran bisa meningkat, dan pemulihan ekonomi menjadi lebih sulit.
Sejarah juga menunjukkan fenomena itu. Italia pada 1925-1930 mengalami ketimpangan ekonomi yang tajam akibat pemotongan belanja sosial yang berlebihan. Anggaran layanan sosial yang sebelumnya menjadi andalan masyarakat miskin dialihkan untuk pembayaran utang dan kepentingan pemilik modal. Akibatnya, angka kemiskinan meningkat drastis hingga mencapai 30 persen. Di sisi lain, pendapatan 1 persen orang terkaya naik hampir 10 persen dalam lima tahun.
Nyaris seabad kemudian, pada 2010-2014, pemotongan belanja pemerintah Italia sebesar 3 persen dari PDB kembali menyebabkan kontraksi ekonomi sebesar 6 persen. Italia pada dekade pertama abad 21, termasuk negara-negara GIPSI (Greece (Yunani), Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Italia) yang gagal dalam menerapkan kebijakan austeritas.
Alih-alih bisa mengurangi utang, kebijakan ini justru meningkatkan rasio utang terhadap PDB masing-masing negara karena kontraksi ekonomi yang dalam. Antara 2008 hingga 2014, rasio utang negara-negara GIPSI meningkat lebih dari 20 persen. Sementara, pertumbuhan ekonomi mereka mengalami stagnasi berkepanjangan.
Efisiensi anggaran pemerintah juga berdampak besar pada generasi muda, terutama dalam sektor pendidikan dan kesempatan kerja. Mattei (2022) dalam bukunya The Capital Order: How Economists Invented Austerity and Paved the Way to Fascism mengungkap bagaimana kebijakan austeritas di Amerika Serikat pascakrisis keuangan global berdampak buruk bagi kaum muda.
Pemotongan anggaran di sektor pendidikan menyebabkan biaya kuliah meningkat, sehingga banyak mahasiswa terpaksa mengambil pinjaman (student loan) dengan bunga tinggi. Pada saat yang sama, kesempatan kerja semakin sempit karena perusahaan enggan merekrut tenaga kerja baru imbas rendahnya insentif dari pemerintah. Akibatnya, generasi muda di Amerika dikenal sebagai “generasi austeritas” yang harus berjuang sendiri dalam kondisi ekonomi yang tidak bersahabat.
Mattei juga menyoroti bahwa kebijakan austeritas bukan sekadar strategi fiskal, tetapi alat politik yang memperkuat dominasi elite ekonomi. Dengan mengurangi peran negara dalam layanan publik, kebijakan ini secara tidak langsung memperlebar kesenjangan sosial dan memperlemah daya tawar kelas pekerja.
Disiplin, Taktis, Terpercaya
Namun, ada juga negara-negara yang berhasil menjalankan austeritas. Denmark dan Irlandia, misalnya. Usai Perang Dunia I, kedua negara ini menerapkan kebijakan austeritas secara efektif. Mereka melakukan pemotongan belanja disertai reformasi pajak dan jaminan sosial. Hasilnya, disiplin anggaran yang diterapkan mampu meningkatkan daya saing dan produktivitas, serta menurunkan suku bunga obligasi pemerintah. Hal ini memungkinkan sektor swasta dan rumah tangga mendapatkan akses kredit dengan biaya yang lebih rendah, yang pada akhirnya mendorong peningkatan konsumsi dan investasi.
Lituania juga berhasil bangkit dari krisis keuangan global 2008 melalui kombinasi kebijakan austeritas dan fleksibilitas tenaga kerja. Pemerintah Lituania tidak hanya melakukan pemangkasan anggaran, tetapi juga menerapkan strategi ekspor yang efektif dan reformasi struktural yang mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Jadi, keberhasilan program austeritas memang membutuhkan banyak prasyarat yang menyertainya. Negara pelaksana austeritas harus disiplin, taktis, dan mendapat kepercayaan publik yang kuat. Soalnya, dalam jangka pendek, austeritas dapat menimbulkan guncangan ekonomi yang hebat, terutama bagi kelompok kelas pekerja dan masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah mutlak perlu mengambil langkah-langkah mitigasi yang cerdas untuk mengurangi dampak buruknya.
Pemerintah harus memastikan, pemotongan anggaran disertai dengan reformasi struktural, seperti debirokratisasi dan deregulasi yang dapat mempercepat layanan publik serta meningkatkan kepastian hukum bagi dunia usaha. Dengan demikian, sektor swasta tetap memiliki ruang untuk berkembang dan menyerap tenaga kerja.
Perlindungan sosial bagi kelas menengah dan pekerja juga harus diperkuat. Tanpa jaring pengaman sosial yang memadai, kebijakan efisiensi anggaran hanya akan memperburuk ketimpangan ekonomi dan meningkatkan risiko ketidakstabilan sosial.
Di saat yang sama, reformasi perpajakan yang lebih adil perlu diterapkan. Pajak progresif bagi kelompok kaya dan perusahaan besar dapat menjadi solusi untuk menutup defisit anggaran tanpa membebani kelompok miskin dan kelas pekerja.
Pemerintah dan otoritas moneter perlu pula menjaga keseimbangan antara kebijakan fiskal dan moneter. Jika kebijakan efisiensi anggaran diterapkan secara ketat, suku bunga sebaiknya disesuaikan agar investasi dan konsumsi tidak tertekan terlalu dalam.
Pada akhirnya, Pemerintah Indonesia dituntut untuk menjalankan pengendalian risiko austeritas ini secara efektif. Keberhasilan austeritas sangat bergantung pada kondisi ekonomi, strategi pelaksanaan, serta keberpihakan dan disiplin pemerintah dalam menjaga kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, efisiensi anggaran harus dijalankan dengan cermat agar tidak justru menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.*