FORUM KEADILAN – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan responsnya soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatalan ketentuan ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT) untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2029.
Mahfud mengungkapkan bahwa masyarakat harus mematuhi putusan tersebut. Menurutnya, terdapat dua alasan mengapa masyarakat harus menerima putusan itu.
“Putusan MK terbaru bernomor 62/PUU-XXII/2024 yang mengubah pandangan lamanya dan menghapus ketentuan threshold ini harus diterima dan ditaati karena ada dua alasan,” tulis Mahfud dalam unggahan di Instagram resminya, dikutip Jumat, 3/1/2025.
Pertama, adanya dalil menyebut bahwa putusan hakim yang sudah inkracht tersebut dapat mengakhiri konflik dan harus dilaksanakan.
“Kedua, karena adanya threshold selama ini sering digunakan untuk merampas hak rakyat maupun parpol untuk dipilih maupun memilih,” katanya.
Mahfud memandang, putusan MK itu bisa membangun keseimbangan baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Di samping itu, putusan tersebut juga dapat menjadi kekuatan hukum baru atau landmark decision yang harus dipatuhi.
“Oleh sebab itu, vonis MK ini merupakan vonis yang bisa menjadi landmark decision baru. Ini bagus karena MK telah melakukan judicial activism untuk membangun keseimbangan baru dalam ketatanegaraan kita,” ujarnya.
Ia pun mengatakan, belasan kali permohonan soal presidential threshold selalu ditolak MK karena beralasan open legal policy. Tetapi, ia begitu mengapresiasi MK yang kini berani memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden. Menurutnya, MK mendengarkan aspirasi rakyat.
“Dulu permohonan penghapusan threshold ini banyak dilakukan oleh masyarakat, antara lain, oleh Effendi Gazali, Rizal Ramli, Denny Indrayana. Tetapi sampai belasan kali permohonan tentang threshold ini, selalu ditolak oleh MK dengan alasan open legal policy,” ungkap dia.
“Sekarang setelah banyak hak konstitusional yang terampas oleh threshold, maka MK baru membuat pandangan baru yang mengikat dan harus dilaksanakan. Saya salut kepada MK yang berani melakukan judicial activism yang sesuai dengan aspirasi rakyat,” lanjutnya.
Sebelumnya diketahui, MK membatalkan ketentuan ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT) untuk pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2029. Mahkamah berpendapat bahwa aturan ambang batas hanya menguntungkan partai-partai politik besar dan tidak didasarkan pada penghitungan yang rasional.
Hal itu diputuskan dalam sidang perkara Nomor 64/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam petitumnya, mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo saat membaca amar putusan di Gedung MK, Kamis, 2/1/2025.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut bahwa penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
Menurut MK, penetapan besaran atau persentase ambang batas tersebut tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Apalagi, penentuan persentase tersebut hanya menguntungkan partai politik besar.
“Penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntungan bagi partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR. Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan,” kata Saldi.
Di sisi lain, Mahkamah menilai bahwa mempertahankan ketentuan PT presiden dan wakil presiden cenderung mengarah pada dua pasangan calon dalam Pilpres.
Padahal, kata Saldi, hal tersebut dapat menyebabkan masyarakat terpolarisasi dan dapat mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” katanya.
Apalagi, kata dia, dalam Pilkada terbaru telah muncul gerakan yang mengarah pada calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Dengan mempertahankan ambang batas tersebut, MK menilai hal tersebut berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” katanya.*