Kamis, 19 Juni 2025
Menu

Kasus Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Nasir Djamil: Tidak Yakin yang Pertama dan Terakhir

Redaksi
Anggota DPR RI Komisi III Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil Podcast Dialektika Madilog Forum di Forum Keadilan TV | Forum Keadilan TV
Anggota DPR RI Komisi III Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil Podcast Dialektika Madilog Forum di Forum Keadilan TV | Forum Keadilan TV
Bagikan:

FORUM KEADILAN – Anggota DPR RI Komisi III Fraksi PKS, Muhammad Nasir Djamil mengungkapkan terkait kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan diakibatkan minimnya pembinaan dan pengawasan hingga keteladanan yang ditunjang dengan gaya hidup membuat terjadinya pembiaran-pembiaran kasus tersebut terjadi.

Hal ini disampaikannya dalam Podcast Dialektika Madilog Forum di Forum Keadilan TV dipandu oleh host Indra J Piliang.

“Jadi, dibiarkan-dibiarkan, dibiarkan ya akhirnya pembiaran ini menimbulkan tragedi. Jadi ketika pembiaran itu sudah dibiarkan sebiar-biarnya, maka terjadilah ya tragedi seperti yang dialami oleh Kasat Reskrim, Polres Solok Selatan yang ditembak oleh senior nya sendiri ya. Jadi seorang AKP menembak AKP ya, jadi polisi tembak polisi.” ujarnya, pada Senin, 9/12/2024.

Ia mengaku mengatakan kepada teman media bahwa dirinya tidak yakin kasus polisi tembak polisi adalah kasus terakhir dan begitu pula kasus ini pun bukan kasus yang pertama terjadi di Tanah Air.

“Tidak yakin, memang ini bukan yang pertama dan tapi saya juga tidak begitu yakin bahwa ini yang terakhir ya. Saya khawatir nanti ada terjadi seperti ini dan itu menambah daftar polisi tembak polisi,” ungkapnya.

“Karena itu harus ada evaluasi secara kritis juga, terkait dengan model pembinaan, pengawasan keteladanan dan juga operasional terutama kepemilikan dan penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian begitu,” tambahnya.

Nasir pun telah mengkonfirmasi kepada temannya yang berada di Kepolisian terkait kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan.

“Jadi, ya mirip seperti jurnalis ya, televisi misalnya dan itu juga saya lihat dalam film-film, di film-film luar ya polisi-polisi ketika dia mau bergerak dia ambil senjata dan itu di tempat persenjataan. Nah, ketika dia selesai dinas, dia taruh senjata dan tercatat semuanya sama petugas yang mencatat itu. Begitu juga jurnalis, televisi, ketika dia bawa kamera diambil penyimpanan kamera, selesai dia kembalikan dicatat lagi semuanya,” jelasnya.

“Sebenarnya sehingga memang polisi itu ya sebenarnya kan ketika perubahan, ketika reformasi, polisi itu kan sudah bahagia dari civil society dia bukan lagi seperti militer ya. Dia sudah bahagia dari civil society’ makanya dia mengayomi, kemudian dia apa istilahnya itu P3 ya (pelayan, pelindung, dan pengayom). Pengayom, baru dia melakukan penegakan hukum gitu, penegakan hukum kan ultimum remedium (upaya terakhir) ya makanya dia ada preventif, preventif, ya baru represif,” sambungnya.

Penggunaan senjata, kata Nasir, merupakan ultimum remedium dan hal itu pun hanya dapat dilakukan ketika dalam kondisi terdesak seperti saat menolong masyarakat sipil yang nyawanya terancam oleh pelaku kejahatan.

“Oleh karena itu, memang senjata ini tidak boleh apa ya, tidak boleh dibiarkan dipegang atau dipakai 24 jam oleh aparat, kecuali memang dibutuhkan. Kecuali dia sedang dalam misalnya tugas ya dan itu dibutuhkan senjata karena yang sedang dicari itu adalah orang-orang bersenjata begitu.” tegasnya.

“Memang kita enggak kalau senjata itu memang jarang ya kita beritahu, yang sering diberitahukan personil ya. Personil diberitahu, tapi senjata itu memang jarang kita diberitahu kecuali misalnya dalam setiap hari ulang tahun kepolisian nanti ada pameran ya. Pameran yang salah satu pamer senjata-senjata mereka. Jadi, memang kalau kita lihat secara kasat mata memang tidak banyak juga yang memegang senjata, mungkin karena Kabag off ya, operasi dia megang senjata yang,” pungkasnya.*