FORUM KEADILAN – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai dua peristiwa dua penembakan oleh aparat kepolisian yang terjadi di Solok Selatan dan Semarang mencerminkan pola kekerasan kepolisian yang sistemik dan semakin memburuk.
“Dua insiden di Semarang dan Bangka Barat ini mempertegas pola kekerasan polisi yang mengkhawatirkan,” kata Usman pada Kamis, 27/11/2024.
Lanjut Usman, dari dua kasus itu seolah-olah memperlihatkan polisi sangat mudah menggunakan senjata api meski tidak dalam keadaan benar-benar terdesak. Bahkan di Semarang yang menjadi korban adalah tiga siswa SMK dan satu di antaranya tewas.
“Penggunaan senjata api yang seharusnya menjadi langkah terakhir, justru sering kali menjadi pilihan utama yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia,” sesal Usman.
Usman menyebut tindakan itu sebagai penghukuman di luar proses hukum (extra-judicial execution) yang melanggar hukum nasional maupun internasional. Karena itu ia mendesak DPR RI dan Kompolnas untuk mengevaluasi kinerja kepolisian serta menuntut pertanggungjawaban hukum bagi pelaku maupun pejabat yang memerintahkan penggunaan senjata api.
“Kejadian-kejadian ini tidak bisa dianggap sebagai insiden terisolasi. Ini adalah kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir represif aparat,” tegas Usman.
Amnesty International mencatat, kata Usman, sejak awal tahun hingga November 2024, terdapat sedikitnya 31 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat kepolisian di Indonesia. Sebagian besar kasus ini tidak diusut secara tuntas, yang berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
“Negara harus memastikan bahwa pelanggaran oleh aparat diproses hukum dengan adil. Revisi aturan penggunaan senjata api juga diperlukan agar kepolisian memprioritaskan prinsip legalitas, intensitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas,” tutupnya.*
Laporan Reynaldi Adi Surya