FORUM KEADILAN – Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Pemerintah juga berencana melakukan Tax Amnesty jilid III.
Mengenai dua rencana tersebut, Ekonom Partai Buruh Gede Sandra mengkritisi bahwa kebijakan itu tidak terbukti menaikkan penerimaan negara. Namun sebaliknya, rencana itu dinilai malah menyengsarakan rakyat dan membebaskan orang kaya dari kewajibannya.
“Kenaikan tarif PPN sebelumnya dari 10 persen ke 11 persen di tahun 2022 yang lalu bukannya menaikkan, malah menurunkan penerimaan PPN,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat, 22/11/2024.
Berdasarkan data dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Gede mengungkap setelah tarif PPN dinaikkan dari 10 persen ke 11 persen, kenaikan penerimaan PPN dari tahun 2022-2023 hanya sebesar Rp60 triliun.
Angka itu lebih rendah dibanding kenaikan penerimaan PPN pada era tarif 10 persen, seperti tahun 2021-2022 yang sebesar Rp130 triliun. Kemudian, di tahun 2020-2021 sebesar Rp96 triliun, ataupun tahun 2017-2018 yang sebesar Rp67,8 triliun.
Menurut Gede, fenomena ini pertanda bahwa kenaikan tarif PPN dari 10 persen ke 11 persen hanya membuat rakyat mengurangi konsumsinya, sehingga konsisten dengan situasi saat ini di mana daya beli rakyat menengah ke bawah yang anjlok.
“Maka, jika tarif PPN kembali naik dari 11 persen ke 12 persen yang mungkin terjadi adalah kembali turunnya penerimaan PPN karena daya beli rakyat yang semakin anjlok,” jelasnya.
Sementara untuk rencana pemerintah mengulang Tax Amnesty hingga jilid ke-III, menurut Gede, juga tidak akan meningkatkan rasio penerimaan pajak (tax ratio). Sebab, berdasarkan data LKPP, setelah dilakukan dua kali Tax Amnesty pada 2016 dan 2022, rasio penerimaan pajak (tax ratio) terhadap perekonomian (PDB) malah turun ke rata-rata 9,8 persen.
Padahal, sebelum dilakukan Tax Amnesty pada 2015-2016, rasio pajak sudah ada di kisaran 11 persen.
“Jangan sampai motif sebenarnya diberlakukan Tax Amnesty berkali-kali ternyata hanya untuk menghapus dosa-dosa para pengemplang pajak pada periode sebelumnya,” tegas Gede.
Menurut Gede, Tax Amnesty I adalah langkah untuk menghapus dosa pajak sebelum tahun 2016. Lalu, Tax Amnesty II menghapus dosa pajak antara tahun 2016-2022.
“Dan bila tetap dilakukan, Tax Amnesty ke-III akan menghapus dosa-dosa pajak antara tahun 2022-2024. Pertanyaan terpenting, siapa saja yang paling berkepentingan untuk menghapus dosanya di periode tahun 2022-2024 tersebut. Kemungkinan besar, mereka adalah sponsor utama dari kebijakan Tax Amnesty jilid III,” ungkapnya.
Sebagai alternatif, dari kenaikan PPN dan diulanginya Tax Amnesty, Gede mengusulkan agar pemerintah memberlakukan pajak jenis baru, yaitu pajak kekayaan (wealth tax) dan pajak karbon.
Menurut perhitungannya, dengan pajak kekayaan sebesar 2 persen dan pajak karbon Rp100 per kg CO2e, negara berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp152 triliun.*
Laporan Merinda Faradianti