FORUM KEADILAN – Eks Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harimurti menjadi salah satu ahli dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal Karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dirinya memohon agar Mahkamah memperketat batasan penggunaan UU ITE agar tidak disalahgunakan.
Awalnya, Bambang menceritakan proses penyusunan UU ITE pada 2008 yang hanya mengatur aspek teknis dan informasi transaksi bisnis secara elektronik. Bambang mengungkapkan bahwa Pasal 27 dan 45 yang dianggap karet baru muncul saat pembahasan akhir.
“Ketentuan pidana yang ditambahkan belakangan ini nyatanya adalah bagian dari hukum kuno yang tidak cocok manakala dimasukkan dalam peraturan era modern. Akibatnya masalah pun bermunculan khususnya kriminalisasi dan pembukaan,” kata Bambang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 13/11/2024.
Bambang juga menyoroti ketentuan pidana dalam UU ITE yang dinilai tidak sesuai dengan The Camden Principles on Freedom of Expression and Equality.
Menurut Bambang, ketentuan norma tersebut disusun dengan rumusan yang terlalu luas dan tidak jelas, sehingga berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi.
“Pembatasan kebebasan berekspresi harus memenuhi standar internasional. Standar minimalnya adalah rumusan yang jelas dan sempit, atau dalam bahasa Inggris disebut clearly and narrowly defined. Namun, hal ini tidak terpenuhi dalam UU ITE,” ucapnya.
Bambang menjelaskan, rumusan hukum yang tidak jelas akan membuat masyarakat bingung mengenai jenis ekspresi yang dilarang. Adanya ketidakpastian ini juga berdampak pada aparat penegak hukum, yang akhirnya harus mengartikan ketentuan hukum secara subjektif.
“Jika pembatasannya tidak cukup jelas, maka masyarakat dan aparat penegak hukum jadinya tidak mengetahui ekspresi apa yang boleh dan tidak boleh disampaikan dan mengartikannya sendiri,” katanya.
Kondisi ini, menurut Bambang, memperbesar ruang pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpotensi melanggar hak atas kebebasan berekspresi serta hak kesetaraan di depan hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Bambang lantas meminta agar Mahkamah memberikan batasan yang lebih ketat terhadap penerapan UU tersebut. Hal ini dianggap sebagai langkah yang paling realistis untuk mencegah penyalahgunaan.
“Batasan yang lebih ketat perlu dilakukan demi melindungi kebebasan berekspresi, menjaga iklim demokrasi yang sehat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.
Sidang kelima ini digelar untuk dua perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Jovi Andrea Bachtiar, Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia.
Untuk diketahui, Daniel Frits merupakan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali) yang merupakan korban UU ITE karena dinyatakan bersalah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jepara. Pada Mei 2024, Pengadilan Tinggi Semarang membebaskan Pemohon dari dakwaan, namun Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan tersebut.
Daniel menguji konstitusionalitas norma Pasal 27A, Pasal 45 Ayat (4) dan Pasal 28 ayat (2), Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang dianggap pasal karet ke MK.
Dalam petitumnya, Daniel meminta agar norma tersebut dikecualikan terhadap Korporasi, lembaga pemerintah, kelompok perseorangan, pejabat publik dan juga figur publik.
Sementara Jovi Andrea saat ini tengah dalam proses hukum atas laporan pengaduan di Kepolisian Resor Tapanuli Selatan atas kritik yang ia sampaikan di media sosial terhadap penyelenggara negara. Dirinya mengajukan uji materiil terhadap Pasal 310 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 45A ayat (3), Pasal 45 ayat (2), dan Pasal 45 ayat (7) UU ITE.
Jovi meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “dilakukan demi kepentingan umum” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk pada kritik terhadap kebijakan pemerintah dan penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan terhadap masyarakat“.*
Laporan Syahrul Baihaqi